Wakil Koordinator Bidang Strategi dan Mobilisasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Puri Kencana Putri meminta pemerintah untuk mengevaluasi penggunaan senjata api. Menurut Kontras, sejumlah kekerasan dengan menggunakan senjata api yang dilakukan pihak kepolisian masuk kategori pelanggaran.
"Soal dor di tempat. Polisi sudah lama mnggunakan istilah OTK (orang tak dikenal), tapi hari ini polisi sudah cukup jelas mengatakan 'akan menggunakan hak kami, kewenangan kami menembak di tempat'," ujar Puri saat menggelar konferensi pers bertajuk: Membaca Kembali Arah Reformasi Polri di kantor KontraS, Jalan Kramat II, Kwitang, Jakarta Pusat, Rabu (9/8/2017).
Menurut Puri, bayangan di masyarakat soal tembak di tempat khusus pada kasus narkoba. Seperti kata Presiden Joko Widodo yang telah menginstruksikan aparat hukum untuk menembak di tempat para bandar narkoba yang beroperasi di Indonesia.
Baca Juga: Kontras Sindir Kerja Polisi di Kasus Novel: Cuma Sketsa Doang?
Berdasarkan temuan Kontras, peristiwa tembak di tempat yang dilakukan oleh kepolisian tidak hanya terjadi pada kasus narkoba.
"Retorikanya di media masa tentang narkoba. Tapi temun kami bukan cuma narkoba, luas banget. Terorisme, isu pilkada dipakai juga, isu tertib sipil dipakai juga, ukurannya apa?" kata Puri.
Ia kemudian menyinggung salah satu kasus penembakan yang dilakukan anggota Brimob ke tujuh warga Papua (satu orang tewas) di Kabupaten Deiyai pada awal Agustus 2017.
"Kayak peristiwa di Deiyai Papua ukurnya apa pakai senapan senjata api pada korban?. Ini nggak jelas," kata dia.
"Praktiknya, senjata api sudah dipakai serius sekali di lapangan, untuk kasus-kasus yang sebenarnya kejahatn kecil. Pada konteks 'dor' di tempat kita meminta pemerintah untuk mengevaluasi penggunaan senjata api," lanjut Puri.
Baca Juga: Kontras: Penyiksaan Sipil yang Dilakukan Polisi Terus Meningkat
Staf penelitian dan advokasi Kontras Ananto Setiawan menerangkan, kebanyakan anghota polisi yang melakukan tembak di tempat langsung menganggap bersalah.
"Tindak penembakan ini harusnya diambil polisi sebagi langkah akhir ketika anggota polisi nggak bisa mengontrol keadaan. Namun dalam banyak peristiwa justru mereka mengedapnkan kultur kekerasan dengan menembak," ucap Ananto.
Berdasarkan data Kontras,dari 2014 sampai Mei 2017 terjadi 1276 peristiwa penembakan yang dilakukan aparatur negara. 505 peristiwa terjadi tahun 2014, 150 peristiwa terjadi tahun 2015, 405 peristiwa di tahun 2016, dan peripde Januari-Mei 2018 terjadi 216 peristiwa.
"Berdasarkan angka di atas, kekerasan menggunakan senjata api menunjukan peningkatan secara signifikan baik dalam jumlah peristiwa dan korban jika dibandingkan periode 2011-2013 yang berjumlah 402 peristiwa," katanya.