Suara.com - Saban hari Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat, menerima berton-ton sampah dari Jakarta. Jenis sampahnya bermacam-macam, umumnya berasal dari rumah tangga, di antaranya bekas pembalut wanita.
"Sampah dari Jakarta ke TPA Bantargebang sekitar 6.500 sampai 7.000 ton perhari. Kendaraan 1.000 sampai 1.200 truk yang masuk selama 24 jam, tujuh hari dalam seminggu," ujar Kepala Satuan Pelaksana Pengolahan Energi Terbarukan TPST Bantargebang Rizky Febrian kepada Suara.com.
Rizky kemudian menjelaskan proses ketika armada pengangkut sampah sampai di gerbang TPST Bantargebang.
Sebelum memasuki zona pembuangan, truk-truk tersebut melewati mesin timbangan tahap pertama terlebih dahulu untuk mengetahui berat sampah yang dikirim.
Baca Juga: Cerita Pemulung Dapat Duit Seribu Dollar dan Cincin Berlian
"Kemudian truk-truk diarah ke titik buang yang sudah kita ditentukan. Di sini ada tiga titik buang. Nanti mereka jalan ke titik buang, sampai di titik buang," kata dia.
Setelah sampah diturunkan di zona pembuangan, sebelum ke luar dari TPST, truk kembali ditimbang.
"Setelah dumping sampah, mereka jalan ke arah timbangan kedua, sebelum keluar dari TPA Bantargebang ini. timbangan kedua itu diukur hanya berat kosong truk. Jadi nanti setelah timbangan kedua akan kelihatan sebetulnya berat sampahnya itu berapa, karena timbangan kedua ini secara otomatis udah terprogram berat sampah plus berat kendaraan timbangan satu - berat truknya, jadi ketahuan net sampahnya berapa. Setelah ditimbang keluar, nanti dia dapat struk. Baru boleh keluar," ujarnya.
Rizky mengungkapkan pada waktu dikirim ke Bantargebang, semua jenis sampah campur aduk menjadi satu.
"Sampah yang masuk ke sini semua jenis sampah rumah tangga, termasuk pembalut. Kalau pembalut itu dibuang ke tempat sampah rumah tangga itu pasti keangkut, karena semua sampah yang ada di Jakarta semuanya keangkut ke sini. Disini belum ada pemilahan. Langsung ditimbun," ujarnya.
Baca Juga: Kisah Pemulung Dapat Pembalut Wanita Satu Truk dan Temukan Emas
Meski tergolong tergolong beresiko tinggi terhadap pencemaran lingkungan karena tidak mudah terurai, seperti bekas pembalut sekali pakai atau popok bayi, tidak ditangani secara khusus. Limbah tersebut tetap disatukan dengan jenis sampah lain pada saat proses penimbunan.
"Sampah-sampah yang berupa pembalut ataupun pampers belum ada pengolahannya di TPST. Sampah tersebut hanya dibiarkan begitu saja dan ditimbun. Belum ada treatment untuk mengolah sampah pembalut atau pampers, kita belum ada teknologi untuk memproses itu," ujarnya.
Rizky menyadari semua jenis sampah bakal menimbulkan potensi bahaya dan penyakit kalau tidak dikelola dengan baik.
"Semua sampah pada prinsipnya kalau tidak dikelola dengan baik menimbulkan potensi bahaya, penyakit udah pasti. Apalagi sampah pembalut ataupun sampah pampers. Penyakitnya minimal gatel-gatel. Kemudian semua sampah kan menimbulkan bau, bau kan artinya bakteri hidup di situ. Kalau kehirup sama kita, penyakit masuk ke dalam tubuh. Apalagi pampers bayi banyak juga orang nggak membuang kotorannya. Ada juga orang yang di flash dulu nanti bawa ke tempat sampah tinggal pampers basahnya aja, ada yang seperti itu. Tapi ada juga yang bulet-bulet langsung dibuang. Kalau seperti itu semua bercampur disini jadinya penyakit. Pastinya gatel-gatel kalau nggak biasa. Perkembangbiakan lalat juga makin banyak," ujarnya.
Menurut Rizky seharusnya penanganan dan pemilahan limbah dilakukan sejak di Jakarta.
"Menurut saya, sebaiknya sampah sudah terpilah dari Jakarta berdasar jenis. Misalkan Pembalut, pembalut semua. Popok semua. Dengan sudah terpilahnya dari Jakarta kita akan tahu akan kita rencanakan penangannya seperti apa, pengolahannya seperti apa dengan sampah-sampah ini. Kalau misalkan pembalut atau pampers nggak bisa diolah atau nggak bisa hancur dengan sendirinya dalam jangka waktu tertentu. Mungkin nanti kita bisa kasih masukan ke produsen untuk memproduksi dengan bahan yang mudah terurai. Kalau sekarang pampers atau pembalut ada bahan-bahan yang semi plastik yang mungkin agak susah terurai. Kita bisa kasih saran ke produsen dengan produk yang ramah lingkungan atau mudah terurai oleh alam," ujarnya.
Di Bantargebang, kata dia, pemilahan sampah hanya dilakukan oleh para pemulung, itu pun hanya diambil yang berharga.
"Hanya pemulung yang mengambil dan memisahkannya. Awalnya ada pemilahan, tapi nggak dibangun dan dilanjutkan plan tersebut sama pihak swasta. Karena terbatas sama anggaran yang sudah dianggarkan. Jalankan apa adanya dulu seperti sedia kala. Tetapi bertahap kita sudah merencanakan sesuatu ke depan untuk membuat TPST lebih ke bagian pengolahan," ujarnya.
RIzky berharap masyarakat di Jakarta meningkatkan kesadaran untuk meminimalisir pencemaran lingkungan hidup, khususnya kepada pemakai pembalut.
"Saya pernah dengar dari orangtua kita atau orang jaman dulu, ada juga yang sampai sekarang menggunakan pembalut yang bisa dipakai dicuci dipakai dicuci, pampers juga ada seperti itu. Jadi kalau kita punya niat untuk mengurangi sampah, untuk menjalani program 3R. Itu bisa menjadi salah satu alternatif yang digunakan. Jadi jangan memakai sekali pakai dibuang, sekali pakai dibuang. Karena itu akan terus menerus menambah volume sampah kita dari Jakarta yang di bawa ke Bantargebang. Hasilnya kalau nggak mengurangi sumbernya bisa kita lihat sendiri gunungan sampah ini semakin tinggi setiap harinya, setiap minggu, setiap bulan, setiap tahunnya," ujarnya. [Yunita]