Suara.com - Suka duka mencari nafkah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, sudah dirasakan oleh Saropa.
Ketika ditemui Suara.com, pemulung asal Indramayu, Jawa Barat, tersebut, bercerita pengalaman menjadi pencari barang bekas di tempat pembuangan akhir sampah warga Jakarta. Pekerjaan ini sangatlah berbahaya, sebab kalau tak hati-hati nyawa bisa melayang.
"Kejadian ada yang sampai meninggal kena longsoran, kena alat berat, ada yang belum ketemu juga. Pekerjaan ini taruhannya nyawalah," ujarnya.
Tetapi bagi perempuan tersebut, hidup sudah digariskan oleh yang maha kuasa. Dia sudah pasrah kalau pun sewaktu-waktu di tengah mencari nafkah bagi keluarga, nyawanya diambil.
"Takut, tapi ya pasrah sih. Karena saya dari kecil udah kerja begini," ujar Saropa.
Prinsip Saropa adalah ada duka, ada suka. Itulah kehidupan. Dia membuktikan di Bantargebang.
Pengalaman menjadi pemulung tak melulu susah, terkadang ada sukanya. Suami dari Saropa pernah suatu hari menemukan uang dollar di antara timbunan sampah.
"Suami saya pernah dapat dollar. Pas mulung nggak lihat kan, lalu pas nyortir dan milah-milah gitu ada, dapat seribu dollar dirupiahin dapat Rp8 jutaan. Kejadian udah lama sih dulu," ujar Saropa.
Rekan Saropa bahkan pernah secara tak sengaja menemukan cincin berlian.
"Dulu ada yang pernah dapat cincin matanya berlian dijual dapat Rp15 juta gitu," ujar Saropa.
Menggelikan
Kalau pengalaman menggelikan dengan sampah sudah jadi makanan sehari-hari. Dia tidak jijik karena sudah menjadi pekerjaan sehari-hari.
"Dulu awal-awal masih jijik lihat pembalut sekarang udah biasa. Dulu pernah lihat satu kantong plastik isinya alat perlengkapan mandi dan banyak pembalut yang masih ada darahnya," ujar Saropa.
Dia juga pernah menemukan plastik, awalnya disangka berisi barang berharga, tetapi ternyata bekas pembalut nenek-nenek yang masih penuh kotoran.
"Pernah ketemu pampers nenek-nenek yang masih ada kotorannya," ujar Saropa.
Saropa mengatakan kesejahteraan hidupnya meningkat setelah menjadi pemulung di TPST Bantargebang.
"Seneng sih di sini, kalau di kampung nggak ada kerjaan. di sini kan ada terus," ujarnya.
Perempuan berusia 30 tahun itu mulai menjadi pemulung bersama kedua orangtua dan saudara-saudaranya sejak kelas 3 SD.
Saropa sudah berkeluarga. Dia punya tiga anak: anak pertama duduk di bangku kelas dua SMP, anak yang kedua duduk di kelas lima SD, dan yang ketiga masih TK. Dia tinggal satu gubuk dengan suami dan anaknya yang masih TK.
"Dua anak saya yang SMP dan SD di pesantren Banten tinggalnya. Di situ nggak butuh biaya administrasi, paling uang jajan saja yang saya kasih. Kalau yang TK sekolahnya di dekat sini," ujar Saropa sambil membersihkan daun-daun.
Saropa mensyukuri penghasilan yang didapatkan dari mengais barang bekas.
"Sudah puluhan tahun mulungnya. Sehari penghasilan tergantung, kalau barangnya banyak ya lumayan, Rp100 ribu sehari kadang lebih," ujar Saropa.
Saropa mengatakan pendapatan sekarang lebih banyak, tetapi tetap lebih enak zaman dulu karena bahan kebutuhan pokok murah.
"Dulu dapat sedikit, beras dan lain-lain masih murah. Sekarang kan mahal, mendingan dulu," ujar Saropa.
Saropa mengatakan penghasilan yang didapatkan ditabung, lalu sebagian dikirim ke kampung halaman untuk kebutuhan anak-anaknya.
"Sebulan ada sisa dikit-dikit, buat bayar sekolah anak, buat dicelengin buat pulang kampung. sisa-sisa, kadang seratus," ujar Saropa.
Saropa mengatakan harapannya
"Harapan kedepan ya banyak. penginnya barang pokok agak murah karena kerjaan kita begini, karena sekarang pas-pasan," ujar Saropa.
Saropa berharap nanti bisa membeli sawah dan rumah di kampung halaman. Sawah ini diharapkan bisa menjadi tumpuan di hari tua. [Yunita]