Peneliti Tsunami Minta Indonesia Belajar dari Bencana Masa Lalu

Sabtu, 05 Agustus 2017 | 22:02 WIB
Peneliti Tsunami Minta Indonesia Belajar dari Bencana Masa Lalu
Ilustrasi tsunami (Freedigitalphotos/Danilo Rizzuti)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Profesor Universitas Brigham Young University (BYU) yang juga peneliti tsunami purba Ronald Albert  mengingatkan agar Indonesia lebih peka terhadap kebencanaan di masa lalu. Menurut dia beberapa gagasan mitigasi bencana gempabumi dan tsunami dapat menjadi acuan dalam penanggulangan bencana di Indonesia.

Dia meneliti tsunami purba di beberapa wilayah di Jawa dan pulau-pulau Sunda kecil. Harris menggagas jargon 20 – 20 – 20.  Angka itu berdasarkan kalkulasi saintifik yang memperhitungkan durasi gempa yang terjadi, kecepatan tsunami dan wilayah evakuasi aman.  “20–20–2020” merupakan detik gempa (5 km/det x 200 det = 100 km zona pecah), 20 menit evakuasi (tsunami velocity) dan 20 meter ketinggian (tsunami model menunjukkan 20 m gelombang run-up). Namun Ron menyampaikan bahwa gagasan terhadap pesan itu harus adaptable dengan konteks wilayah.

“Mungkin saja di Ambon 20 – 10 – 20, atau di Bali 20 – 20 – 10,” papar Ron Harris dalam diskusi membahas mitigasi bencana gempabumi dan tsunami di Badan Meteorologi, Klimatoogi dan Geofisika (BMKG) pada Jumat (4/8/2017) kemarin. 

Masih dalam konteks mitigasi, Ron Harris menceritakan bahwa kelompok masyarakat di Waingapu, Sumba Timur, tidak mengetahui sejarah tsunami di wilayahnya. Dia menjelaskan memang hal itu dapat terjadi karena generasi yang hidup di wilayah itu ketika siklus gempabumi dan tsunami yang ‘tidur’.

Baca Juga: Mensos Khofifah Tinjau Bencana Banjir di Belitung Timur

Berdasarkan penelitian selama ini, yang menunjukkan siklus tidur-bangun-tidur, dan mungkin bangun pada periode selanjutnya. Sang profesor mengingatkan mungkin selama ini sebagian besar masyarakat menandai tsunami pascagempabumi besar, padahal gempa yang tidak terasa besar namun berdurasi lama dapat menyebabkan tsunami mematikan.

Sementara itu, ketika masyarakat diberikan kuisoner mengenai pendekatan apa yang diinginkan saat peringatan dini. Sebagian besar masyarakat di Pelabuhan Ratu, Pacitan, dan Pangandaran memilih sirine.

Di sisi lain, ketika warga mengetahui papan mengenai arah evakuasi, pertanyaan kritis yang muncul mengenap kapan mereka harus evakuasi. Gagasan Ron yaitu dengan menambahkan papan seperti 20–20–20 di bawah papan arah evakuasi.

Ron Harris juga merekomendasikan untuk melihat kembali pemasangan rambu evakuasi seperti yang terpasang di Kuta Lombok, Nusa Tenggara Barat. Rambu evakuasi tersebut menurutnya tidak mengarahkan pada tempat yang tinggi namun arah evakuasi masih menunjukkan wilayah yang terkena genangan tsunami.

Sementara itu, upaya mitigasi di Pulau Dewata juga membutuhkan pendekatan di beberapa sektor seperti budaya, mengingat sesuai peraturan daerah yang mengijinkan bangunan dengan tinggi maksimal 15 meter.

Baca Juga: Cina: 'Main-main' dengan Korea Utara Bisa Berujung Bencana

Sementara itu, Direktur Kesiapsiagaan BNPB Medi Herlianto memaparkan hasil penelitian BMKG mengenai paleotsunami. Saat ini, Indonesia telah memiliki masterplan tsunami namun demikian hasil penelitian yang menghasilkan rekomendasi dapat memperbarui strategi-strategi dalam menghadapi ancaman yang lebih besar. 

“Ini sangat penting untuk menyampaikan hasil penelitian kepada pemerintah sehingga nantinya akan menghasilkan rekomendasi-rekomendasi berharga,” ungkap Medi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI