Dessy mengatakan pemenuhan KTP bersifat mutlak dan hakiki sebagaimana yang termuat dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahwa setiap orang berhak memiliki, memperoleh, mengganti, atau mempertahankan status kewarganegaraannya. Dessy kemudian menceritakan gara-gara tidak punya KTP, warga Ahmadiyah sulit mengakses layanan publik.
"Salah satu dari warga kami kemarin itu mau mendaftar ke universitas karena dapat beasiswa, persyaratannya adalah KTP elektronik, karena dia tidak punya, jadinya beasiswa anak ini hangus," kata Dessy.
Warga juga sulit mendapatkan fasilitas BPJS Kesehatan dari pemerintah. Salah seorang warga pernah mendatangi Dinas Sosial Kabupaten Kuningan untuk mengurus BPJS Kesehatan setelah anaknya yang berusia tiga bulan sakit. Namun, pengurusan tersebut ditolak oleh Dinas Sosial.
"Akhirnya anak usia tiga bulan tersebut meninggal dunia karena tidak bisa mengakses fasilitas kesehatan. Miris saya melihatnya, kenapa kami didiskriminasikan di negara sendiri," katanya.
Penderitaan yang dihadapi warga Ahmadiyah tak hanya akses layanan publik, di acara-acara umum juga sering dihalangi.
"Waktu itu ada pameran di Kuningan, itu terbuka untuk umum, kami datang itu kan hak kami karena terbuka untuk umum. Tapi kami ditolak dan tak diizinkan masuk ke acara pameran itu. Apa yang salah dengan kami. Kami hidup menaati hukum yang berlaku, tapi mengapa kami di kucilkan," ujarnya.
Dessy berharap pemerintah membantu warga Ahmadiyah untuk mendapatkan hak-hak sebagai warga negara.
Tak bisa menikah
Mubaligh Jakarta Utara Ahmadiyah, Muhammad Nurdin, kepada Suara.com, di Masjid Al Hidayah, Jalan Balikpapan I, nomor 10, Jakarta Pusat, Senin (26/6/2017), mengungkapkan ketiadaan e-KTP membuat jamaah Ahmadiyah Manis Lor mengalami berbagai kesulitan.
Salah satunya, jemaah mereka tidak bisa melangsungkan pernikahan karena tidak memiliki KTP.