Suara.com - Ketika banyak gadis sibuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah atau kuliah, ternyata masih ada perempuan-perempuan muda di Tuban, Jawa Timur, yang harus ikhlas dinikahkan dan mengakhiri impian muluk untuk menentukan nasibnya sendiri.
Siti Muthoharoh mencoba tersenyum meski menangis terisak saat menceritakan betapa beratnya melahirkan anak bertama pada usianya yang masih belia.
“Ketika itu, aku tidak siap untuk hamil dan memunyai anak,” tutur perempuan berusia 22 tahun tersebut kepada Anadolu Agency, Kamis (3/8/2017).
“Trauma setelah melahirkan anak pertama hingga kini belum juga hilang, dan aku harus menghadapi kenyataan hamil anak kedua. Semua ini terlalu berat untukku,” tutur Siti.
Baca Juga: Aremania: Jangan Hanya Suporter yang Disalahkan
Siti adalah warga Tuban, daerah pelabuhan di Jawa Tengah yang masih marak pernikahan usia belia terutama di kalangan masyarakat miskin.
Orangtuanya bekerja sebagai buruh tani di perkebunan kecil dan mendapatkan upah USD4 atau setara Rp40 ribu per hari. Upah itu, cukup tidak cukup, harus bisa menghidupi mereka dan keempat anaknya.
Karenanya, Siti diminta orangtuanya menikah ketika dirinya baru 17 tahun, tak lama setelah dirinya menamatkan SMA.
Sang suami yang berusia jauh lebih tua, relatif lebih “berada” secara ekonomi sehingga orangtua Siti tak kuasa menahan pinangan tersebut.
Setahun setelah menikah, Siti melahirkan anak pertama. Selang 18 bulan, ia sudah hamil anak kedua.
Baca Juga: Toyota C-HR Masih Sekadar Eksibisi di GIIAS 2017, Ini Alasannya
Siti disibukkan dengan segala urusan memomong anak, ketika teman-teman seusianya sibuk belajar di perguruan tinggi. ”Bahkan untuk sekadar berias pun aku tak memunyai waktu. Seluruh tenagaku untuk mengurus anak,” tukasnya.