Suara.com - Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang tak berhenti menambah utang luar negeri Indonesia. Hal ini tidak sesuai dengan komitmen Jokowi pada awal pemeritnahannya yang menyatakan tidak mau berutang.
"Jadi sekarang kita menyaksikan sendiri penambahan utang dengan agregat yang cukup tinggi. Mungkin ini angka tertinggi dibanding pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, kalau dilihat dari prosentase atau waktu periode berkuasanya," kata Fadli di DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (3/8/2017).
Menurut Fadli, selama menjabat kurang lebih tiga tahun terakhir, Jokowi menambahkan utang luar negeri sekitar 1,5 persen dari pemerintahan sebelumnya.
Ia mengatakan, kalau praktik ini terus dibiarkan, akan membahayakan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia.
Baca Juga: Haji Lulung Usul Lanjutkan Raperda Reklamasi, Pemprov Sepakat
"Banyak negara-negara yang terjerat karena utang, dead trap. Saya kira ini yang tidak boleh terjadi dengan Indonesia," tutur Fadli.
Ia menuturkan, Jokowi harus berkomitmen pada semangat awal pemerintahannya, yakni berdikari (berdiri di kaki sendiri; akronim kemandirian) secara ekonomi seperti semangat Presiden Soekarno.
"Jangan hanya retorikanya saja mau berdikari tapi utang terus. Jadi ini yang seharusnya tak boleh terjadi. Karenanya, perhitungan dalam belanja termasuk infrastruktur, harus punya dampak ekonomi. Jangan hanya membangun supaya keliatan, tapi tidak ada dampak ekonominya," terangnya.
Ia menilai, pemerintah kekinian cenderung membangun banyak infrastruktur tapi tak berdampak positif pada perekonomian.
Baca Juga: Telisik Jenderal Penyerang Novel, KPK Tolak Ajakan Polri
"Jadi infrastruktur harus dipikirkan kembali yang memang bermanfaat bagi rakyat secara langsung. Misalnya pasar, pasti bermanfaat seacra langsung. Kalau membangun pasar tradisional atau sekolah atau misalnya rumah sakit, itu manfaatnya langsung. Atau infrastruktur pedesaan yang menunjang produksi,” terangnya.
Lain halnya dengan pembangunan jalan yang selalu digenjot pemerintah. Fadli mengklaim, pembangunan jalan itu hanya bermanfaat pada industri otomotif yang notabenenya dikuasai oleh asing.
"Kita kan tidak punya mobil nasional. Kan SMK cuma retorika doang. Jadi belum menjadi mobil nasional. Membangun jalan tol kan berarti kita memberikan subsidi kepada industri otomotif Jepang, industri otomotif Amerika, Eropa atau Cina. Saya tak tahu cara berpikir ekonominya seperti apa dari pemerintah ini," tandasnya.