Bukan pertamakali
Pelarangan kegiatan diskusi, pertemuan, pemutaran film, bahkan pentas kesenian ataupun festival dengan dalih tidak memiliki izin kegiatan bukanlah kali ini terjadi.
Dalam catatan SAFEnet (https://id.safenetvoice.org/pelanggaranekspresi), sejak 2015 hingga bulan Mei 2017 tercatat 61 kasus pelarangan dan pembubaran paksa. 80 persen di antaranya merupakan pelarangan atau paksaan pembatalan pertemuan oleh aparat keamanan setempat karena dikait-kaitkan dengan penyintas 1965-66 ataupun isu kebangkitan komunisme.
Dalam rangkaian kegiatan diseminasi dan edukasi Putusan Panel Hakim IPT65, panitia lokal di beberapa kampus dan lokasi dipaksa membatalkan acara.
Di Ambon, 18-19 Maret 2017, pihak penyewa diintimidasi dan ditekan sehingga acara harus berpindah lokasi di sebuah Gereja. Di Bandung 31 Maret 2017, meskipun acara yang dihadiri lebih dari 100 mahasiswa berlangsung lancar di Fakultas Hukum Universitas Parahiyangan, namun pihak Dekanat FH UNPAR disatroni oleh aparat Kepolisian. Di Semarang (17 Maret 2017) maupun di Surabaya (24 Mei 2017) otoritas kampus mendesak Panitia setempat untuk membatalkan acara. Di kampus APDM Yogyakarta (19 April 2017), pihak panitia setempat diinterogasi aparat intelijen.
Baru-baru ini, Pertemuan (23/7) YPKP65 di Cirebon
Interogasi dan intimidasi dalam bentuk perizinan bahkan pelarangan dan paksaan untuk membatalkan suatu pertemuan oleh aparat kepolisian dinilai merupakan suatu bentuk perampasan dan serangan serius terhadap hak untuk berkumpul dan berpendapat. Lebih dari itu paksaan untuk pembubaran di beberapa kampus juga merupakan penghinaan terhadap kebebasan mimbar akademik, katanya.
"Alih-alih mengambil langkah-langkah nyata untuk penyelesaian secara berkeadilan terhadap kejahatan serius di masa lalu, pemerintahan Jokowi-JK secara sistematis malah mengekang dan memberangus berbagai prakarsa publik untuk mengungkapkan kebenaran dan pemenuhan hak-hak korban/ penyintas Kejahatan Genosida 1965-66. Indonesia saat ini semakin bergerak menuju cara-cara dan praktek autoritarianisme Orde Baru," katanya. [Rani Febriyanti]