Kurang lebih dua tahun lagi, gelaran Pemilihan Presiden tahun 2019 akan berlangsung. Presiden Joko Widodo, hampir dapat dipastikan akan menjadi salah satu kontestan dalam gelaran tersebut untuk melanjutkan periode jabatannya ke periode ke dua.
Founder dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA, melihat Jokowi merupakan salah satu tokoh yang memiliki pengaruh bahkan akan menjadi salah satu penentu pada Pilpres 2019 mendatang. Namun, ia juga melihat, saat ini, Jokowi menghadapi berbagai masalah yang akan menjadi penghalangnya menjadi Presiden dua periode.
"Jokowi di H- 2 tahun (dua tahun sebelum Pilpres 2019, untuk jabatannya yang kedua), tak sekuat SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) H-2 tahun (SBY di tahun 2007, 2 tahun sebelum Pilpres 2009 untuk jabatannya yang kedua)," kata Denny, Senin (31/7/2017).
Baca Juga: Fadli Zon: Hidup di Era Jokowi Makin Susah
Menurut dia, elektabilitas Jokowi saat ini rata-rata di angka di bawah 45 persen dengan aneka simulasi. Sementara SBY di periode yang sama, yakni tahun 2007, ketika masih menjabat presiden, juga 2 tahun sebelum Pilpres berikutnya, yaitu di atas 55 persen, juga dengan aneka simulasi.
"Bagi incumbent, jika dukungan di bawah 50 persen, itu adalah sesuatu. Bahkan Ahok saja selaku incumbent (gubernur Jakarta) yang H- 1 tahun dengan dukungan hampir 60 persen bisa tumbang," ujar Denny.
Namun demikian, Jokowi diuntungkan karena masih presiden, masih mengelola kebijakan dan dana APBN dan banyak perbaikan yang masih ia kendalikan.
Namun, kata dia, terdapat dua hal yang mengharuskan Jokowi hati hati. Jika ia salah mengelola, kekuatannya akan terus tergerus.
Pertama, yaitu "Ahok Effect." Ahok yang kinerjanya memuaskan publik Jakarta hingga di atas 70 persen bisa tumbang karena tak pandai mengelola "sentimen Islam" yang merupakan pemilih mayoritas negeri ini.
Baca Juga: Kapolri Temui Jokowi, Wartawan Dilarang Mendekat ke Wisma Negara
"Tak ada tokoh yang bisa tahan jika ia sudah terkena label "negatif" terhadap Islam," ujar Denny.
Kata dia, meskipun label tersebut hanya sebatas persepsi, karena tidak pernah diketahui isi hati tokoh tersebut, namun jika persepsi publik sudah terbentuk seorang tokoh dianggap "negatif terhadap Islam," atau "kurang positif terhadap Islam," maka badai opini publik segera menimpanya.
"Di mata pemilih Islam, persepsi atas Jokowi masih OK. Namun sudah mulai muncul dan sudah dihembuskan persepsi Jokowi yang dianggap "kurang positif" terhadap Islam," tutur Denny.
Selain itu, kasus Perppu pembubaran Ormas, tanpa lewat pengadilan, dikritik oleh aneka tokoh dan lembaga hak asasi manusia yang kredibel.
"Bahkan Human Right Watch tingkat dunia yang bermarkas di Amerika Serikat juga ikut mengeritiknya secara keras di koran berpengaruh Washington Post. Dimana, korban pertama Perppu tersebut adalah Hizbut Tahrir Indonesia. Ormas Islam pula," kata Denny.
Masalah kedua Jokowi, yaitu komitmennya pada kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat dan kerelaan menerima kritik sebagai hal tak terelakkan dalam sistem demokrasi.
Kata Denny, di kalangan aktivis dan intelektual yang dulu bahkan mendukung Jokowi mulai menarik jarak. Jokowi dianggap terlalu mudah menangkap aktivis dengan tuduhan makar, tuduhan yang sangat berat, walau kemudian direvisi.
"Apa iya seorang sipil yang kritis, tak punya partai, tak punya massa, tak punya dukungan pasukan bersenjata, seperti Sri Bintang Pamungkas ditangkap dengan tuduhan makar?," kata Denny.
Selaon soal Perppu pembubaran Ormas tanpa pengadilan, juga soal UU Pemilu yang menggunakan hasil pemilu 2014 sebagai basis penentu Pilpres 2019 yang sudah sangat berbeda, menambah list negatif pada Jokowi.
"Kebijakan Jokowi dipertanyakan dari sisi komitmennya meneruskan semangat reformasi 1998," kata Denny.