Kata dia, meskipun label tersebut hanya sebatas persepsi, karena tidak pernah diketahui isi hati tokoh tersebut, namun jika persepsi publik sudah terbentuk seorang tokoh dianggap "negatif terhadap Islam," atau "kurang positif terhadap Islam," maka badai opini publik segera menimpanya.
"Di mata pemilih Islam, persepsi atas Jokowi masih OK. Namun sudah mulai muncul dan sudah dihembuskan persepsi Jokowi yang dianggap "kurang positif" terhadap Islam," tutur Denny.
Selain itu, kasus Perppu pembubaran Ormas, tanpa lewat pengadilan, dikritik oleh aneka tokoh dan lembaga hak asasi manusia yang kredibel.
"Bahkan Human Right Watch tingkat dunia yang bermarkas di Amerika Serikat juga ikut mengeritiknya secara keras di koran berpengaruh Washington Post. Dimana, korban pertama Perppu tersebut adalah Hizbut Tahrir Indonesia. Ormas Islam pula," kata Denny.
Baca Juga: Fadli Zon: Hidup di Era Jokowi Makin Susah
Masalah kedua Jokowi, yaitu komitmennya pada kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat dan kerelaan menerima kritik sebagai hal tak terelakkan dalam sistem demokrasi.
Kata Denny, di kalangan aktivis dan intelektual yang dulu bahkan mendukung Jokowi mulai menarik jarak. Jokowi dianggap terlalu mudah menangkap aktivis dengan tuduhan makar, tuduhan yang sangat berat, walau kemudian direvisi.
"Apa iya seorang sipil yang kritis, tak punya partai, tak punya massa, tak punya dukungan pasukan bersenjata, seperti Sri Bintang Pamungkas ditangkap dengan tuduhan makar?," kata Denny.
Selaon soal Perppu pembubaran Ormas tanpa pengadilan, juga soal UU Pemilu yang menggunakan hasil pemilu 2014 sebagai basis penentu Pilpres 2019 yang sudah sangat berbeda, menambah list negatif pada Jokowi.
"Kebijakan Jokowi dipertanyakan dari sisi komitmennya meneruskan semangat reformasi 1998," kata Denny.
Baca Juga: Kapolri Temui Jokowi, Wartawan Dilarang Mendekat ke Wisma Negara