Suara.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertanyakan Kementerian Hukum dan HAM yang mengizinkan Muhtar Ependy hadir dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Pansus KPK di Gedung Nusantara II, MPR/DPR, Jakarta, Selasa (25/7) lalu.
"Apa dasar Menteri Hukum dan HAM kemudian mengizinkan para terpidana untuk hadir di Pansus, saya kira itu ditanyakan kepada pihak Kementerian Hukum dan HAM apa dasarnya dan kenapa itu dilakukan dan kenapa tidak koordinasi dengan KPK ?" kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Kamis malam.
Muhtar Ependy diketahui sebagai terpidana terkait perkara memberikan keterangan tidak benar dalam penyidikan kasus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi termasuk Wali Kota Palembang nonaktif Romi Herton.
Muhtar divonis 5 tahun penjara pada Maret 2015 lalu dan saat ini sedang menjalani masa hukumannya di Lapas Sukamiskin Bandung.
Terhadap Muhtar Ependy, KPK juga telah menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka dalam pengembangan penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji terkait pengurusan perkara sengketa Pilkada Kabupaten Empat Lawang dan Kota Palembang di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Maret 2017 lalu.
"Kami harap seharusnya ada koordinasi-koordinasi yang dilakukan karena yang bersangkutan juga sedang menjadi tersangka dan kasusnya sedang ditangani KPK. Namun, memang ketika eksekusi telah dilakukan ada domain Kementerian Hukum dan HAM di sana," kata Febri.
Menurut Febri, KPK mengharapkan antar institusi ada koordinasi yang baik apalagi pihak-pihak kementerian di bawah Presiden Joko Widodo berkomitmen untuk pemberantasan korupsi.
"Itu kan seharusnya diperlihatkan dari koordinasi yang intens dengan institusi penegak hukum apalagi terkait dengan penanganan perkara yang masih berjalan," ucap Febri.
Sebelumnya, Muhtar Ependy mengaku dirinya telah diancam oleh penyidik KPK yaitu Novel Baswedan.
"Saya akan penjarakan pak Muhtar seperti dulu saya penjarakan Jenderal Joko Susilo. Jangankan jenderal polisi, presiden pun akan saya tangkap jika bersalah," kata Muhtar menirukan pembicaraan Novel, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Pansus Hak Angket di Gedung Nusantara II, Jakarta, Selasa (25/7).
Dia mengatakan ancaman pertama yang diterimanya adalah jika dirinya tidak mau mengikuti skenario sesuai arahan Novel, maka dirinya akan dipenjarakan atas empat pasal.
Menurut dia, Novel juga sempat mengancam akan memasukkan istri Muhtar ke dalam penjara, dan bahkan mengancam akan membunuh Muhtar setelah keluar dari penjara.
"Kalau mau menetapkan saya sebagai tersangka, kenapa tidak dari awal sejak tiga tahun lalu. Ini teknik Novel Baswedan supaya saya tetap dipenjara selama 20 tahun," ujarnya lagi.
Ancaman kedua, menurut Muhtar, ia mengaku pernah akan ditembak Novel. Peristiwa itu terjadi pada 2 Juli 2014, saat itu dirinya hendak berangkat menunaikan Salat Isya dan Tarawih ke musala dekat Mall of Indonesia (MoI).
Dia mengatakan diancam akan ditembak Novel, karena tidak mau menyaksikan perampasan mobil Honda Jazz milik istrinya oleh KPK, dan Novel.
"Meski sudah mengatakan itu bukan mobil saya, KPK tetap menyita kendaraan roda empat tersebut," ujarnya pula.
Terkait hal tersebut, KPK memastikan penetapan tersangka terhadap Muhtar Ependy tidak didasari atas dendam atau karena diancam.
"Saya sampaikan penetapan tersangka tidak didasari dendam atau karena ancaman, tetapi hasil ekspose banyak orang dari penyidik, JPU, dan pimpinan," kata Kabag Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha, di gedung KPK, Jakarta, Selasa (25/7).
Ia menegaskan bahwa KPK menetapkan Muhtar Ependy sebagai tersangka murni dari hasil ekspose berdasarkan penyidikan dan proses persidangan. [Antara]
KPK Pertanyakan Muhtar Ependy Diizinkan Hadiri Pansus
Ardi Mandiri Suara.Com
Kamis, 27 Juli 2017 | 23:16 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
REKOMENDASI
TERKINI