"Duterte menggunakan retorika anti-komunis untuk menindas masyarakat adat dan suku bangsa minoritas di Filipina. Kaum komunis bisa memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi mereka, seharusnya itu menjadi kritik bagi presiden untuk berpihak kepada rakyat," tegas Emmi.
Ancaman Duterte tersebut merupakan provokasi terbaru setelah NPA menyergap rombongan pengawal presiden di selatan Filipina, pekan lalu.
Serangan NPA tersebut dilakukan karena Duterte hendak memperluas pemberlakukan darurat militer. Tadinya, darurat militer hanya diterapkan di Kota Marawi, Mindanao, yang dikuasai gerombolan teroris Maute.
Namun, setelah gerombolan teroris yang berafiliasi dengan ISIS itu sudah kehilangan kontrol atas Marawi, Duterte justru tidak mau mencabut kebijakan darurat militer.
Baca Juga: Hari Ini, Nasib APBNP 2017 dan Perppu Data Nasabah Ditentukan
Sebaliknya, Duterte menginginkan seluruh wilayah di selatan Filipina diterapkan darurat militer. Padahal, di daerah tersebut terdapat basis perlawanan non-ISIS, semisal PKF/NPA, Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF), maupun Front Pembebasan Islam Moro (MILF).
PKF dalam pernyataan resminya menilai darurat militer menjadi pintu masuk bagi Duterte untuk memperkuat barisan militer guna menekan perlawanan rakyat.
"Dengan darurat militer, Duterte telah semakin berani mengintensifkan kampanye pembunuhan, penculikan, penyiksaan, penembakan tanpa pandang bulu, pendudukan militer, evakuasi paksa, pemboman udara, dan berbagai pelanggaran militer," demikian pernyataan resmi PKF.
Pendiri PKF Jose Maria Sison yang diasingkan di Belanda, bahkan memperingatkan Duterte untuk tidak meneruskan kebijakan darurat militer.
”Jika Duterte meyakini darurat militer adalah solusi untuk semua persoalan rakyat Filipina, maka dia tengah bermain dengan api,” tegas Sison seperti dilansir TelesurTV.net.
Baca Juga: Uji Iman, Tiga Perempuan Ini Perkosa Pemuka Agama
PKF sejak era tahun 60-an menjadi kekuatan oposan terbesar dan terkuat bagi rezim-rezim totaliter Filipina.