Suara.com - Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Denny Indrayana menilai sosok Novel Baswedan sebagai pahlawan pemberantasan korupsi. Sikap berani penyidik senior KPK itu membuat Denny sampai mengatakan negara dan warga Indonesia berhutang mata ke Novel.
Kedua mata Novel Baswedan terluka karena siraman air keras dari orang tak dikenal di dekat rumahnya. Kini Novel dalam perawatan di rumah sakit Singapura. Pelaku penyiraman belum ditangkap polisi.
Dalam sebuah tulisan di blog pribadinya, dennyindrayana.staff.ugm.ac.id, Denny menilai Novel adalah sosok yang tenang sekaligus keras. Dia bercerita beberapa kali bertemu Novel.
“Wajahnya bersih-putih, terawat. Tutur katanya runtut dan tenang. Namun, jangan tertipu dengan tampilannya yang kalem, dan ukuran tubuhnya yang biasa saja. Di dalam tubuh dan pikirannya, ada kekuatan kebenaran. Ada cahaya antikorupsi yang terang-benderang. Takutnya hanya pada Sang Pencipta, tidak pada yang lain. Itu kekuatan juang tauhid yang ditancapkannya untuk melawan kuasa koruptor yang secara mata fisik meraksasa, namun secara mata batin menyimpan kekerdilan. Tidak ada hati koruptor yang tak gentar jika mendengar nama, atau menatap mata tajam Novel Baswedan,” tulis Denny.
Baca Juga: Kasus Penyiraman Novel Baswedan Juga Digarap Mabes Polri
Novel adalah bukti dan legenda hidup serangan pada KPK, lanjut Denny. Serbuan dan hantaman koruptor kepada KPK beriring sejalan dengan teror kepada Novel. Tidak semua serangan itu diberitakan.
“Tetapi kita paham bahwa kriminalisasi sudah berulangkali dihadapinya. Ketika gonjang-ganjing kasus korupsi simulator SIM, Novel ditersangkakan. Kasus yang sama kembali dijeratkan ketika muncul gonjang-ganjing kasus korupsi “rekening gendut”. Terakhir adalah serangan teror air keras yang merusak mata kirinya, dan mengganggu mata kanannya,” tulisnya lagi.
Berikut tulisan lengkap Denny:
Ba’da sholat shubuh saya membaca wawancara Kompas (Billy Khaerudin) dengan Novel Baswedan. Lagi, setiap mendengar kalimat yang keluar dari mulutnya, hati bergetar. Novel terus menularkan semangat antikorupsi dan kebertuhanan yang kuat. Foto Novel, dengan bulat hitam mata kirinya yang telah memutih mengirimkan kesan dalam, untuk terus berjuang. Melawan koruptor, tidak ada pilihan lain kecuali terus memupuk harapan untuk menang, dan tidak memberi kesempatan untuk kalah.
Novel adalah sosok yang tenang sekaligus keras. Saya bertemu dia dalam beberapa kesempatan. Wajahnya bersih-putih, terawat. Tutur katanya runtut dan tenang. Namun, jangan tertipu dengan tampilannya yang kalem, dan ukuran tubuhnya yang biasa saja. Di dalam tubuh dan pikirannya, ada kekuatan kebenaran. Ada cahaya antikorupsi yang terang-benderang. Takutnya hanya pada Sang Pencipta, tidak pada yang lain. Itu kekuatan juang tauhid yang ditancapkannya untuk melawan kuasa koruptor yang secara mata fisik meraksasa, namun secara mata batin menyimpan kekerdilan. Tidak ada hati koruptor yang tak gentar jika mendengar nama, atau menatap mata tajam Novel Baswedan.
Baca Juga: KPK Doa Bersama untuk Novel Baswedan
Dalam wawancara dengan Tempo, kata-kata Novel yang tenang menyimpan aura tenaga yang sulit dipatahkan. Katanya, “Berani itu tidak mengurangi umur, takut juga tidak menambah umur. Jadi, kita tidak boleh menyerah. Jangan memilih takut, karena Anda akan menjadi orang yang tidak berguna.”
Novel adalah bukti dan legenda hidup serangan pada KPK. Serbuan dan hantaman koruptor kepada KPK beriring sejalan dengan teror kepada Novel. Tidak semua serangan itu diberitakan. Tetapi kita paham bahwa kriminalisasi sudah berulangkali dihadapinya. Ketika gonjang-ganjing kasus korupsi simulator SIM, Novel ditersangkakan. Kasus yang sama kembali dijeratkan ketika muncul gonjang-ganjing kasus korupsi “rekening gendut”. Terakhir adalah serangan teror air keras yang merusak mata kirinya, dan mengganggu mata kanannya.
Namun, bahkan dalam kegelapan mata kiri itu, Novel adalah asa yang terus menerangi gelap perjuangan antikorupsi kita. Ketika manuver Pansus Angket disikapi beragam oleh kita, ingatlah bahwa di KPK ada Novel Baswedan dan para rekannya yang terus berjuang untuk Indonesia yang lebih beradab dan antikorupsi. Biasanya, kita terbelah mendukung KPK karena ada perbedaan preferensi politik. KPK dianggap tidak tegas pada kasus yang menjerat musuh politik kita. Atau, KPK dianggap menyerang tokoh idola politik kita. Ayo buka mata hati kita. Jangan mudah dibutakan oleh “siraman air keras” kampanye pencitraan politik para koruptor.
Tentu KPK perlu terus dikawal agar tidak melakukan penyalahgunaan amanah antikorupsinya. Tetapi mendukung langkah koruptif untuk melemahkan KPK, nyata-nyata bukan pilihan. Jangan mudah diperdaya oleh dalih koruptor yang seolah ingin menguatkan KPK, padahal ingin membunuhnya. Koruptor tentu punya tipu-daya, punya berbagai tipu-muslihat, tetapi mata hati rakyat jelata yang bersih tidak akan pernah tertipu. Mari kita buka gelap mata batin kita, dan melihat terang melalui butanya mata kiri Novel Baswedan.
Akhirnya, negara dan kita tetap berutang mata kepada Novel. Tidak ada pilihan bagi kepolisian selain mengungkapkan siapa pelaku lapangan dan aktor utama dibalik teror air keras pada Novel Baswedan. Jika tidak kunjung terungkap pelakunya, Presiden Jokowi perlu mempertimbangkan membentuk tim independen untuk mengungkap kasus tersebut. Penanganan kasus kriminaliasi komisoner KPK Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto oleh tim independen yang diketuai almarhum Adnan Buyung Naution—saya menjadi Sekretaris Tim—adalah salah satu contohnya. Meskipun, dalam kejahatan teror koruptif semacam ini, bahkan tim independen sekalipun belum tentu berhasil tuntas menjalankan tugasnya. Kita tentu ingat, bahwa kita masih berutang nyawa untuk mengungkap pelaku utama tragedi pembunuhan almarhum Munir.
Tapi, bagaimanapun sulitnya. Negara tidak boleh kalah. Taruhannya terlalu besar untuk membiarkan pelaku teror koruptor itu terus bebas tertawa puas, menikmati tindakan biadabnya yang tidak kunjung terungkap ataupun berbalas hukuman yang setimpal.
Negara, polisi, dan kita berutang mata pada Novel Baswedan, dan utang itu wajib dibayar!
Melbourne, 25 Juli 2017