Di tengah upaya pansus angket di DPR mengoreksi kinerja KPK, justru dukungan terhadap lembaga antirasuah semakin menguat. Hari ini, alumni Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, datang untuk menyampaikan dukungan mereka.
"Kami ke KPK karena kami merasa prihatin dengan hak angket, itu trigger-nya," kata Koordinator delegasi alumni fakultas hukum, Agustinus Pohan, di KPK, Jalan Kuningan Persada, Kuningan, Jakarta Selatan.
Agustinus menegaskan alumni Fakultas Hukum Unpad menentang keras keberadaan pansus hak angket terhadap KPK. Mereka menilai pansus tersebut bertujuan untuk melemahkan kinerja KPK memberantas garong duit negara. KPK, kata Agustinus, harus diperkuat, bukan sebaliknya.
Ketua Komunitas Alumni Fakultas Hukum Unpad Yeni Fatmawati menambahkan ada lima poin yang merepesentasikan sikap alumni, salah satunya meminta kasus korupsi e-KTP diusut sampai tuntas.
"Korupsi terkait dana e-KTP merupakan tindak kejahatan yang sangat merugikan rakyat Indonesia, sehingga harus diusut dan ditindak sampai tuntas," ujar Yeni.
Yeni mengatakan keberadaan pansus hak angket merupakan upaya melemahkan KPK dan memunculkan konflik kepentingan. Sebab, sebagian anggota pansus merupakan saksi kasus korupsi e-KTP yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun.
Yeni menegaskan korupsi merupakan kejahatan level extraordinary dan sekarang sudah bersifat massif dan merusak sendi-sendi sosial ekonomi Indonesia.
"Penegakan hukum harus ditegakkan secara sungguh-sungguh tanpa mempertimbangkan latar belakang pelaku," kata Yeni.
Pansus mulai ditinggalkan anggota
Tak lama setelah Ketua DPR dari Fraksi Golkar Setya Novanto ditetapkan menjadi tersangka kasus proyek e-KTP, eksistensi pansus disorot, apakah tetap akan bertahan atau bubar.
Peristiwa mengejutkan muncul di tengah sorotan itu. Fraksi Gerindra mendadak menarik diri dari pansus. Anggota pansus dari Fraksi Gerindra Desmon J. Mahesa mengatakan sudah berkonsultasi dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebelum memutuskan.
Kepada publik, Fraksi Gerindra menyatakan keluar dari pansus terkait syarat pembentukan pansus dan jadwal rapat yang selalu terkesan dadakan.
"Pembentukan itu dibentuk 5 fraksi dan 2 fraksi belum menyetor, yaitu Gerindra dan PAN. Nah dasar itu kan pembentukan pansus itu kan nggak memenuhi syarat UU MD3 dan tatib. Kalau kami biarkan ini dan tak bersikap ya ada sesuatu yang salah kan," kata Desmon.
"Nah kedua rapat-rapatnya juga seolah-olah dadakan-dadakan, seperti ke Lapas Sukamiskin saya bilang tidak setuju tapi mereka tetap berangkat. Saya bilang kalau mereka berangkat, Gerindra akan keluar. Setelah berangkat dari Lapas Sukamiskin itu kan kami nggak pernah aktif lagi," kata Wakil Ketua Komisi III DPR.
Desmon menambahkan Fraksi Gerindra juga melihat ada upaya melemahkan KPK lewat pansus.
"Kami melihat ada langkah-langkah yang mau melemahkan kelembagaan KPK. Kalau ini yang ada maka kami harus keluar," kata dia.
Dengan Gerindra mundur dari pansus, maka fraksi yang aktif dalam pansus yaitu PDI Perjuangan, Golkar, Hanura, Nasdem, PPP, dan PAN.
"Ya kami keluar. Nah kami lihat juga yang aktif itu parpol-parpol koalisi pemerintah, harusnya mereka menguatkan (KPK). Kami sebagai partai non pendukung (pemerintah) ya kami keluar. Koalisi pemerintah lah yang melemahkan KPK," tuturnya.
"Kami ke KPK karena kami merasa prihatin dengan hak angket, itu trigger-nya," kata Koordinator delegasi alumni fakultas hukum, Agustinus Pohan, di KPK, Jalan Kuningan Persada, Kuningan, Jakarta Selatan.
Agustinus menegaskan alumni Fakultas Hukum Unpad menentang keras keberadaan pansus hak angket terhadap KPK. Mereka menilai pansus tersebut bertujuan untuk melemahkan kinerja KPK memberantas garong duit negara. KPK, kata Agustinus, harus diperkuat, bukan sebaliknya.
Ketua Komunitas Alumni Fakultas Hukum Unpad Yeni Fatmawati menambahkan ada lima poin yang merepesentasikan sikap alumni, salah satunya meminta kasus korupsi e-KTP diusut sampai tuntas.
"Korupsi terkait dana e-KTP merupakan tindak kejahatan yang sangat merugikan rakyat Indonesia, sehingga harus diusut dan ditindak sampai tuntas," ujar Yeni.
Yeni mengatakan keberadaan pansus hak angket merupakan upaya melemahkan KPK dan memunculkan konflik kepentingan. Sebab, sebagian anggota pansus merupakan saksi kasus korupsi e-KTP yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun.
Yeni menegaskan korupsi merupakan kejahatan level extraordinary dan sekarang sudah bersifat massif dan merusak sendi-sendi sosial ekonomi Indonesia.
"Penegakan hukum harus ditegakkan secara sungguh-sungguh tanpa mempertimbangkan latar belakang pelaku," kata Yeni.
Pansus mulai ditinggalkan anggota
Tak lama setelah Ketua DPR dari Fraksi Golkar Setya Novanto ditetapkan menjadi tersangka kasus proyek e-KTP, eksistensi pansus disorot, apakah tetap akan bertahan atau bubar.
Peristiwa mengejutkan muncul di tengah sorotan itu. Fraksi Gerindra mendadak menarik diri dari pansus. Anggota pansus dari Fraksi Gerindra Desmon J. Mahesa mengatakan sudah berkonsultasi dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebelum memutuskan.
Kepada publik, Fraksi Gerindra menyatakan keluar dari pansus terkait syarat pembentukan pansus dan jadwal rapat yang selalu terkesan dadakan.
"Pembentukan itu dibentuk 5 fraksi dan 2 fraksi belum menyetor, yaitu Gerindra dan PAN. Nah dasar itu kan pembentukan pansus itu kan nggak memenuhi syarat UU MD3 dan tatib. Kalau kami biarkan ini dan tak bersikap ya ada sesuatu yang salah kan," kata Desmon.
"Nah kedua rapat-rapatnya juga seolah-olah dadakan-dadakan, seperti ke Lapas Sukamiskin saya bilang tidak setuju tapi mereka tetap berangkat. Saya bilang kalau mereka berangkat, Gerindra akan keluar. Setelah berangkat dari Lapas Sukamiskin itu kan kami nggak pernah aktif lagi," kata Wakil Ketua Komisi III DPR.
Desmon menambahkan Fraksi Gerindra juga melihat ada upaya melemahkan KPK lewat pansus.
"Kami melihat ada langkah-langkah yang mau melemahkan kelembagaan KPK. Kalau ini yang ada maka kami harus keluar," kata dia.
Dengan Gerindra mundur dari pansus, maka fraksi yang aktif dalam pansus yaitu PDI Perjuangan, Golkar, Hanura, Nasdem, PPP, dan PAN.
"Ya kami keluar. Nah kami lihat juga yang aktif itu parpol-parpol koalisi pemerintah, harusnya mereka menguatkan (KPK). Kami sebagai partai non pendukung (pemerintah) ya kami keluar. Koalisi pemerintah lah yang melemahkan KPK," tuturnya.