Anggota DPRD Jakarta Minta Tunjangan Naik, Setujukah Anda?

Senin, 24 Juli 2017 | 21:10 WIB
Anggota DPRD Jakarta Minta Tunjangan Naik, Setujukah Anda?
Rapat paripurna DPRD Jakarta [suara.com/Bowo Raharjo]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
Anggota DPRD Jakarta berharap tunjangan perbulan mereka naik. Rancangan Peraturan Daerah tentang Hak Keuangan dan Administrasi Pimpinan dan Anggota DPRD DKI Jakarta yang saat ini diserahkan ke pemerintah diharapkan mengakomodir kenaikan tunjangan.

Saat ini, anggota dewan memiliki penghasilan kotor sekitar Rp75 juta sebelum dipotong pajak sebesar 15 persen. Penghasilan ini berasal dari gaji plus tunjangan-tunjangan.

Anggota DPRD Jakarta dari Fraksi Partai Gerindra Prabowo Soenirman mengungkapkan setiap kali menerima gaji, terpotong pajak sekitar Rp20 juta setiap bulan.

"Gaji kotor Rp70 jutaan, termasuk tunjangan. Dan setelah pajak tinggal Rp50 jutaan," ujar Prabowo kepada Suara.com, Senin (24/7/2017).

Prabowo mengatakan anggota dewan mengusulkan kenaikan tunjangan sekitar Rp100 juta.

"Usulan kenaikan sekitar Rp100 jutaan kotor, dengan asumsi termasuk tunjangan transportasi. Dengan catatan mobil dikembalikan," kata Prabowo.

Anggota DPRD Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan Yuke Yurike mengatakan raperda tersebut merupakan tindaklanjut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD.

"Kenaikannya juga berdasarkan PP 18 yang dikeluarkan presiden, kan, jadi tentang perda ini sih menjalankan amanat PP saja," kata Yuke.

"Masalah (gaji dewan) cukup nggak cukup, kita memang nggak ada operasional misalkan untuk bantu konstituen, permohonan-permohonan, bantuan, dan sebagainya. Ya itu dari pendapatan yang kita terima," Yuke menambahkan.

Anggota DPRD Jakarta dari Fraksi Partai Nasdem Bestari Barus mengungkapkan setiap bulan menerima gaji Rp7 juta, belum termasuk tunjangan-tunjangan. Dia mengaku tidak hafal berapa sesungguhnya total tunjangan yang diterima.

"Ada uang sewa rumah, ini itu. Saya sendiri nggak megang (uang), tapi istri saya. Saya nggak tahu gajinya berapa. Nggak pernah ngecek. Pertama nerima take home pay Rp26 juta. Sekarang sekitar Rp40-50 juta," katanya.

Menurut Bestari anggota dewan setara dengan pejabat eselon II di pemerinta Jakarta. Tapi, katanya, kinerja anggota dewan lebih berat.

"Bedanya cuma satu, eselon dua pulang ke rumah dia tidur, kita pagi sudah ditungguin orang di rumah. Malam pulang sudah ditungguin orang di rumah. Ada biaya konstituen itu yang mesti di cover, sehingga memang perlu ada sporting lagi. Kalau buat kaya nggak bisa jadi dewan, jadi pengusaha," kata Bestari.

Rincian gaji anggota dewan

Sekretaris DPRD Jakarta Muhammad Yuliadi mengungkapkan tunjangan yang diterima anggota dewan meliputi saat ini:

-Tunjangan keluarga Rp288.000
- Tunjangan representasi Rp2.250.000
- Uang paket Rp240.000
- Tunjangan jabatan Rp3.262.500
- Tunjangan beras Rp38.500
- Tunjangan komisi Rp130.500
- Tunjangan perumahan Rp60 juta
- Tunjangan komunikasi intensif Rp9 juta
- Biaya operasional Rp9.600.000

Jumlah tersebut belum termasuk jika anggota dewan menjadi anggota badan legislatif dan badan musyawarah. Mereka akan mendapatkan tunjangan badan legislatif sebesar Rp326.500 dan tunjangan badan musyawarah Rp326.500.

Adapun penghasilan untuk posisi wakil ketua DPRD sebanyak Rp95.699.500 sebelum dipotong pajak. Kemudian rincian tunjangan meliputi:

- Tunjangan keluarga Rp288.000
- Tunjangan representasi Rp2.400.000
- Uang paket Rp240.000
- Tunjangan jabatan Rp3.480.000
- Tunjangan beras Rp38.500
- Tunjangan perumahan Rp70 juta
- Tunjangan komunikasi intensif Rp9 juta
- Biaya operasional Rp9.600.000
- Tunjangan badan legislatif Rp326.500
- Tunjangan badan musyawarah Rp326.500.

Sedangkan penghasilan menjadi ketua DPRD secara angka memang lebih kecil dari ketua yaitu Rp35.701.000 setiap bulan. Ketua tidak mendapatkan tunjangan perumahan.

Yuliadi mengungkapkan ketua tidak mendapatkan tunjangan rumah, tetapi dia mendapatkan jatah rumah dinas. Jika dirupiahkan nilai operasional rumah dinas ketua DPRD DKI senilai Rp15 juta - Rp20 juta untuk telepon, listrik, air, internet, dan lainnya.

Semua anggota dewan juga mendapatkan tunjangan untuk medical check up senilai Rp3,5 juta setiap tahun.

Hari ini, DPRD menyerahkan secara simbolis raperda kepada Gubernur Djarot Saiful Hidayat.

Rapat paripurna dengan agenda mendengarkan jawaban dari Djarot atas raperda tersebut rencananya dilaksanakan pada Rabu (26/7/2017).

Diharapkan bisa tingkatkan kinerja

Gubernur Djarot mengatakan semangat penerbitan PP adalah agar wakil rakyat meningkatkan kinerja.

"Supaya kinerja dewan semakin meningkat, semakin profesional, semakin berkualitas. Terkait dengan dia melaksanakan tugas-tugas kedewanannya," kata Djarot di gedung DPRD.

Djarot mengatakan anggota dewan memang memiliki kewajiban melakukan budgeting, controlling, dan hak legislasi.

"Jadi bagaimana dengan perbaikan perbaikan tunjangan dan keuangan itu mampu mendongkrak pelaksanaan hak-hak yang dimiliki oleh yang terhormat anggota dewan," ujar Djarot.

Djarot juga berharap penghasilan dewan disesuaikan dengan tunjangan kinerja dewan sehingga ada perbedaan antara wakil rakyat yang bekerja dan yang tidak bekerja secara maksimal.

"Sehingga sama seperti kita di Pemda, mereka yang kinerjanya rendah take home pay nya juga rendah. Di situ mungkin bisa diatur. Ini usul saja dari kami, melalui tunjangan representasi," katanya.

Djarot yakin dengan menggunakan sistem TKD, kinerja dewan akan semakin meningkat apabila ingin mendapatkan penghasilan yang banyak.

"Akan kelihatan anggota dewan yang betul rajin, bertanggungjawab, representatif, produktif, profesional akan mendapatkan tunjangan yang lebih besar dibanding anggota dewan yang 'maaf ya' malas dan tidak produktif. Fair," ucap Djarot.

Dikritik keras

Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran tidak yakin kebijakan Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2017 untuk menaikkan tunjangan anggota DPRD otomatis dapat mengurangi praktik korupsi di kalangan anggota dewan.

"FITRA tidak yakin dengan adanya kenaikan tunjangan anggota DPRD seluruh Indonesia bisa mengurangi praktik korupsi atau membuat kinerja anggota dewan meningkat," ujar Sekretaris FITRA Yenny Sucipto di Sekretariat Nasional FITRA, Jalan Mampang Prapatan, Mampang, Jakarta.

Sebaliknya, kebijakan yang diterbitkan Jokowi menjelang pemilu tahun 2019 itu bisa membangkrutkan APBD.

"Jika pemerintah daerah tetap melaksanakan PP 18 Tahun 2017 dengan kondisi keuangan daerah yang tidak mendukung, tentu akan membuat porsi belanja di daerah tidak tidak produktif dan pembiayaan anggaran menjadi tidak efisien," kata dia.

Yenny mengatakan substansi PP 18 Tahun 2017 yaitu tambahan tunjangan bagi anggota DPRD. Rata-rata kenaikan tunjangan, setiap anggota dapat mengantongi pendapatan mencapai Rp30 juta sampai Rp35 juta per bulan.

Berdasarkan simulasi data komisi pemilihan umum, jumlah kursi DPRD tingkat provinsi dan kabupaten serta kota yakni sebanyak 19.697 kursi. Artinya, jika 19.697 kursi dikalikan Rp35 juta berarti negara tiap bulan harus mengeluarkan Rp689,3 miliar untuk tunjangan anggota dewan.

"Berdasarkan simulasi diatas, jumlah belanja pegawai yang harus dibayarkan negara atau daerah jika ditotal bisa mencapai Rp689,3 miliar, jumlah ini belum termasuk dengan tunjangan komisi, tunjangan kelengkapan, belum lagi biaya kesehatan, tunjangan keluarga, tunjangan reses, rumah dinas, dan kendaraan dinas," kata Yenny.

FITRA menilai tanpa adanya kenaikan tunjangan, pendapatan, dan fasilitas yang diperoleh anggota legislatif sudah lebih dari cukup.

"Seharusnya DPRD yang merupakan perwakilan rakyat bisa lebih sensitif terhadap kondisi ekonomi saat ini. Keluarnya PP 18 Tahun 2017 ini, menjadi bukti bahwa pemerintahan baik eksekutif atau legislatif, tidak memiliki komitmen terhadap visi peningkatan kualitas dan efisiensi anggaran di tengah menurunnya kondisi ekonomi," kata dia.

FITRA menolak kebijakan Presiden mengeluarkan PP Nomor 18 yang dijadikan dasar untuk menaikkan tunjangan anggota DPRD.

"FITRA menolak PP Tahun 2017 karena tidak memiliki nilai urgensi dan cenderung bermotif politis," ujar Yenny.

Yenny menyebut PP tersebut bermuatan potitis karena diterbitkan menjelang pemilu tahun 2019.

"Kita tidak menginginkan APBD dan APBN menjadi bancanakan elit politik. Sehingga kami ingin Jokowi untuk mengkaji kembali PP Nomor 18 Tahun 2017, apalagi di tahun 2018, 2019 proritas kerjanya Jokowi cukup memerlukan anggaran yang banyak untuk memenuhi anggaran di dalam Nawacita, perlu ada prioritas dalam melakukan skala pembangunan," ucap dia.

PP kenaikan tunjangan DPRD, kata Yenni, dapat membuat bangkrut APBD, terutama di daerah ruang fiskal yang rendah. Menurut Yenny para kepala daerah seharusnya juga mengkritisi kebijakan tersebut.

FITRA meminta wakil rakyat konsisten terhadap amanat konstitusi yaitu berbicara keadilan di dalam distribusi alokasi dan mengedepankan kesejahteraan rakyat.

"Sebagai wakil rakyat, DPRD harus berhemat. Gaji dan tunjangan saat ini dirasa sudah lebih cukup," ucap Yenny.

Yenny menuturkan kenaikan tunjangan yang dipayungi PP 18 Tahun 2017 menjadi anomali di tengah defisit anggaran. Kenaikan tunjangan DPRD harus juga menyesuaikan dengan kemampuan kepala daerah dan perlu memperhatikan ruang fisikal.

Berdasarkan peraturan menteri keuangan tahun 2016, terdapat 12 provinsi memiliki Indeks Ruang Fisikal tinggi, kemudian enam provinsi memiliki Indeks Ruang Fisikal sedang dan 16 provinsi memiliki indeks ruang fisikal yang rendah.

Adapun berdasarkan kota, terdapat 47 kota memiliki Indeks Ruang Fisikal yang tinggi, 36 kota dengan Indeks Ruang Fisikal sedang dan 10 kota memiliki Indeks Ruang Fisikal rendah. Kemudian di tingkatan kabupaten, terdapat 104 kabupaten yang memiliki Indeks Ruang Fisikal tinggi, 95 kabupaten dengan Indeks Ruang Fisikalnya sedang, dan 216 kabupaten memiliki Indeks Ruang Fisikal rendah.

Kata Yenny, berdasarkan peta ruang fisikal, FITRA menyarankan daerah dengan kondisi ruang fisikal rendah dan memiliki ketergantungan tinggi Dana Alokasi Khusus dan Dana Alokasi Umum untuk menolak PP 18 Tahun 2017.

"Jika tidak, PP tersebut merepotkan pemerintah daerah dalam mengatur belanjanya, bahkan APBD terancam bangkrut atau defisit," kata dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI