Suara.com - Seorang siswi SMA berinisial R (15) di Cilegon, Banten, mengaku pernah ikut merundung (mem-bullying) teman disabilitas saat masih di bangku sekolah dasar. Tetapi kemudian dia menyesali ulahnya.
"Saat itu aku ikut-ikutan temen, mereka suka mengolok-olok salah satu temen aku yang disabilitas." kata R, dikutip dari Antara (24/7/2017).
R menambahkan alasan melakukan aksi perundungan adalah ingin menunjukkan bahwa teman-temannya yang paling berkuasa di sekolahnya. Akibat di-bullying terus menerus, korban selalu terlihat murung dan suka menyendiri.
Setelah kejadian tersebut, R menyadari bahwa perbuatannya tidak bisa dibenarkan. R yang saat itu masih SD mendapat teguran keras dari orangtuanya, sehingga ia berhenti melakukan aksi perundungan. R saat ini merupakan siswi sekolah menengah atas di daerah Cilegon.
"Perundungan itu terjadi karena kita menganggap itu adalah wajar dan sok berkuasa, kita terbiasa untuk melakukan perundungan terus-menerus. Namun, kita tidak tahu dampak yang ditimbulkan terhadap korban," kata R
R menyesal dan berharap tidak terjerumus ke dalam lingkungan perundungan lagi.
Perundungan sejak dulu sering terjadi dan pelaku biasanya melakukannya secara berkelompok untuk menunjukkan sok berkuasa.
Masalah perundungan menjadi topik pembicaraan di berbagai kalangan saat ini. Kasus yang sama terjadi pada seorang siswi sekolah menengah pertama di Tanah Abang, Jakarta. Pelakunya berjumlah sembilan orang yang melakukan aksi kekerasan hingga menyuruh korban untuk bersujud mencium kaki. Tidak hanya pelajar SMP tapi tiga orang mahasiswa di kampus Gunadarma, Depok juga melakukan aksi perundungan terhadap seorang mahasiswa difabel. Ketiga pelaku tersebut langsung dihukum skors selama 12 bulan.
Presiden Joko Widodo di Pekanbaru, Riau, pada peringatan hari Anak Nasional , juga ikut menyinggung aksi perundungan dengan mendesak para siswa dan mahasiswa untuk menghentikannya.