Mantan terpidana teroris Kurnia Widodo menceritakan pengalaman saat pertamakali bergabung dengan kelompok Negara Islam Indonesia.
"Saya dulu lulusan Teknik Kimia ITB pada tahun 2000. Awalnya saya terpapar radikalisme saat dialog dengan teman. Teman saya ini anak pintar di kelas, dia ngasih saya buku jihad tauhid sampai saya masuk NII," kata Kurnia dalam diskusi bertema Merawat Keindonesiaan Tolak Radikalisme, Lawan Intoleransi, di DPP PKB, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (23/7/2017).
Kurnia mengenal NII sejak duduk di bangku SD. Dia mengakui ketertarikan pada organisasi tersebut karena kesalahannya mamahami sejarah posisi NII di zaman kemerdekaan.
"Saya tertarik karena dalam sejarah nasional yang saya pelajari dari SD, SMP, SMA itu ada yang berbeda, saya merasa tertipu dan akhirnya saya benarkan paham itu," ujar Kurnia.
Kurnia masuk ITB tahun 1992. Sejak saat itu dia sudah mulai belajar merakit bom, namun belum ia belum mengenal istilah teroris dan belum marak seperti sekarang ini.
Menurut dia merakit bom bukanlah hal yang sulit. Bahkan, dari bahan sederhana saja ia sudah bisa membuat bom seperti yang diledakkan di Bali. Selain itu, ia juga mengaku pernah bergabung dengan Hizbut Tahrir Indonesia dan aktif beberapa tahun.
"Cuma karena saya bisa bikin bom, jadi saya rasa nggak cocok di (HTI). Terus saya masuk Majelis Muda Indonesia, di situ saya merasa cocok di sana," ucap Kurnia.
Di MMI, Kurnia mengaku bertemu dengan salah satu petinggi ISIS, yakni Amman Abdurrahman. Amman-lah yang membuat Abu Bakar Ba'asyir terpapar dengan ISIS, kata Kurnia.
"Terus ada pelatihan jihad di Aceh yang ada Dul Matin di sana, tapi terendus aparat, sehingga gagal. Dulu kelompok saya pernah nembak Polisi di Purworejo tahun 2010. Pelakunya itu teman saya, ia ditembak di Klaten," tutur Kurnia.
"Kita juga membuat bom, alhamdulillah terendus aparat dan saya ketangkap. Kenapa alhamdulillah? Karena kalau nggak, saya bisa melakukan hal yang lebih berbahaya lagi," Kurnia menambahkan.
"Saya dulu lulusan Teknik Kimia ITB pada tahun 2000. Awalnya saya terpapar radikalisme saat dialog dengan teman. Teman saya ini anak pintar di kelas, dia ngasih saya buku jihad tauhid sampai saya masuk NII," kata Kurnia dalam diskusi bertema Merawat Keindonesiaan Tolak Radikalisme, Lawan Intoleransi, di DPP PKB, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (23/7/2017).
Kurnia mengenal NII sejak duduk di bangku SD. Dia mengakui ketertarikan pada organisasi tersebut karena kesalahannya mamahami sejarah posisi NII di zaman kemerdekaan.
"Saya tertarik karena dalam sejarah nasional yang saya pelajari dari SD, SMP, SMA itu ada yang berbeda, saya merasa tertipu dan akhirnya saya benarkan paham itu," ujar Kurnia.
Kurnia masuk ITB tahun 1992. Sejak saat itu dia sudah mulai belajar merakit bom, namun belum ia belum mengenal istilah teroris dan belum marak seperti sekarang ini.
Menurut dia merakit bom bukanlah hal yang sulit. Bahkan, dari bahan sederhana saja ia sudah bisa membuat bom seperti yang diledakkan di Bali. Selain itu, ia juga mengaku pernah bergabung dengan Hizbut Tahrir Indonesia dan aktif beberapa tahun.
"Cuma karena saya bisa bikin bom, jadi saya rasa nggak cocok di (HTI). Terus saya masuk Majelis Muda Indonesia, di situ saya merasa cocok di sana," ucap Kurnia.
Di MMI, Kurnia mengaku bertemu dengan salah satu petinggi ISIS, yakni Amman Abdurrahman. Amman-lah yang membuat Abu Bakar Ba'asyir terpapar dengan ISIS, kata Kurnia.
"Terus ada pelatihan jihad di Aceh yang ada Dul Matin di sana, tapi terendus aparat, sehingga gagal. Dulu kelompok saya pernah nembak Polisi di Purworejo tahun 2010. Pelakunya itu teman saya, ia ditembak di Klaten," tutur Kurnia.
"Kita juga membuat bom, alhamdulillah terendus aparat dan saya ketangkap. Kenapa alhamdulillah? Karena kalau nggak, saya bisa melakukan hal yang lebih berbahaya lagi," Kurnia menambahkan.