Kajian Herman Sinung Janutama yang menyimpulkan Kerajaan Majapahit sebagai Kerajaan Islam yang kemudian dituangkan dalam bukut berjudul Fakta Mengejutkan, Majapahit Kerajaan Islam (2010) diperdebatkan oleh arkeolog dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Agus Aris Munandar. Menurut Agus simpulan tersebut tak didukung bukti yang kuat.
Namun, penulis buku menekankan bahwa bukunya yang telah diterbitkan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pengurus Daerah Muhammadiyah, Kota Yogyakarta, sudah melalui kajian yang ilmiah. Kesimpulan tersebut, antara lain didukung oleh bukti-bukti adanya nisan bertuliskan aksara Arab di sekitar reruntuhan bangunan Kerajaan Majapahit, kemudian temuan koin yang bertuliskan lafadz La Ilaha Illallah Muhammadan Rasulullah (Tiada Tuhan Selain Allah dan Muhammad Rasul Allah).
Menurut Agus nisan dan koin memang benar adanya dan sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Tapi, kata dia, bukan berarti langsung bisa disimpulkan Kerajaan Majapahit merupakan Kerajaan Islam.
"Pada masa Majapahit, ada masyarakat Islam di sana. Jadi nisan-nisan itu memang nisan yang menandai makam-makam Islam," kata Agus dalam diskusi bertema Jangan Lupakan Sejarah, Tolak Rekayasa Sejarah Majapahit, di Restoran Bumbu Desa, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (23/7/2017).
Agus menambahkan sejak Kerajaan Majapahit berdiri, Islam sudah masuk ke Pulau Jawa. Pemerintahan Majapahit yang dikuasai oleh Hindu-Buddha tidak pernah melarang orang-orang Islam datang ke kerajaan mereka. Bahkan, nisan mereka juga diberi lambang daripada kerajaan Majapahit.
"Itu tidak dilarang oleh pemerintahan Majapahit. Boleh-boleh saja, dan malahan diberi hiasan-hiasan Majapahit juga hiasan-hiasan Surya Majapahit yang merupakan ciri khas kerajaan Majapahit," tutur Agus.
Mengenai koin yang memuat lafadz La Ilaha Illallah Muhammadan Rasulullah dan di dalamnya terdapat lambang kerajaan Majapahit, kata Agus, itu karena pemerintahan Majapahit menerima semua koin yang dipakai untuk bertransaksi di kerajaannya oleh para pendatang, termasuk ummat Islam pada saat itu.
"Jadi sah-sah saja kalau itu ada poin dengan tulisan lafadz La ilaha Illallah dan semua koin berlaku di sana, termasuk koin itu. Marena memang sebagian penduduk Majapahit ada yang agamanya Islam, tapi tidak seluruhnya kerajaan itu memeluk agama Islam," tutur Agus.
Bahkan, kata Agus, penduduk di kawasan pantai utara Jawa, pada zaman itu sudah memeluk agama Islam. Namun bukan berarti Kerajaan Majapahit dan para petingginya juga beragama Islam.
Lebih lanjut, dosen Arkeologi FIB UI mengatakan bahwasanya terkait adanya penulisan sejarah Majapahit yang berbeda itu sudah pernah dibahas di Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Bahkan, Ditjen Kebudayaan sudah menolak buku Herman.
"Kami pernah melakukan diskusi, oleh pak Dirjen Kebudayaan, pak Hilmar di kantor dia waktu itu. Kemendikbud sendiri resmi menolak. Makanya sekarang sudah sudah nggak ada lagi. Jadi memang keliru tafsirannya atau memaksa untuk ditafsirkan," kata Agus.
Namun, penulis buku menekankan bahwa bukunya yang telah diterbitkan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pengurus Daerah Muhammadiyah, Kota Yogyakarta, sudah melalui kajian yang ilmiah. Kesimpulan tersebut, antara lain didukung oleh bukti-bukti adanya nisan bertuliskan aksara Arab di sekitar reruntuhan bangunan Kerajaan Majapahit, kemudian temuan koin yang bertuliskan lafadz La Ilaha Illallah Muhammadan Rasulullah (Tiada Tuhan Selain Allah dan Muhammad Rasul Allah).
Menurut Agus nisan dan koin memang benar adanya dan sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Tapi, kata dia, bukan berarti langsung bisa disimpulkan Kerajaan Majapahit merupakan Kerajaan Islam.
"Pada masa Majapahit, ada masyarakat Islam di sana. Jadi nisan-nisan itu memang nisan yang menandai makam-makam Islam," kata Agus dalam diskusi bertema Jangan Lupakan Sejarah, Tolak Rekayasa Sejarah Majapahit, di Restoran Bumbu Desa, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (23/7/2017).
Agus menambahkan sejak Kerajaan Majapahit berdiri, Islam sudah masuk ke Pulau Jawa. Pemerintahan Majapahit yang dikuasai oleh Hindu-Buddha tidak pernah melarang orang-orang Islam datang ke kerajaan mereka. Bahkan, nisan mereka juga diberi lambang daripada kerajaan Majapahit.
"Itu tidak dilarang oleh pemerintahan Majapahit. Boleh-boleh saja, dan malahan diberi hiasan-hiasan Majapahit juga hiasan-hiasan Surya Majapahit yang merupakan ciri khas kerajaan Majapahit," tutur Agus.
Mengenai koin yang memuat lafadz La Ilaha Illallah Muhammadan Rasulullah dan di dalamnya terdapat lambang kerajaan Majapahit, kata Agus, itu karena pemerintahan Majapahit menerima semua koin yang dipakai untuk bertransaksi di kerajaannya oleh para pendatang, termasuk ummat Islam pada saat itu.
"Jadi sah-sah saja kalau itu ada poin dengan tulisan lafadz La ilaha Illallah dan semua koin berlaku di sana, termasuk koin itu. Marena memang sebagian penduduk Majapahit ada yang agamanya Islam, tapi tidak seluruhnya kerajaan itu memeluk agama Islam," tutur Agus.
Bahkan, kata Agus, penduduk di kawasan pantai utara Jawa, pada zaman itu sudah memeluk agama Islam. Namun bukan berarti Kerajaan Majapahit dan para petingginya juga beragama Islam.
Lebih lanjut, dosen Arkeologi FIB UI mengatakan bahwasanya terkait adanya penulisan sejarah Majapahit yang berbeda itu sudah pernah dibahas di Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Bahkan, Ditjen Kebudayaan sudah menolak buku Herman.
"Kami pernah melakukan diskusi, oleh pak Dirjen Kebudayaan, pak Hilmar di kantor dia waktu itu. Kemendikbud sendiri resmi menolak. Makanya sekarang sudah sudah nggak ada lagi. Jadi memang keliru tafsirannya atau memaksa untuk ditafsirkan," kata Agus.