Nurdin Halid: Desakan Agar Geser Novanto Tak Perlu Didengar

Jum'at, 21 Juli 2017 | 19:34 WIB
Nurdin Halid: Desakan Agar Geser Novanto Tak Perlu Didengar
Ketua Harian DPP Partai Golkar Nurdin Halid [suara.com/Ummi Hadyah Saleh]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
Ketua Harian DPP Partai Golkar Nurdin Halid mengatakan munculnya desakan agar Golkar menyelenggarakan Musyawarah Nasional Luar Biasa untuk menggeser Setya Novanto dari posisi ketua umum tidak perlu didengarkan. Desakan muncul setelah Novanto menjadi tersangka kasus dugaan korupsi proyek e-KTP.

"Ya, itu tidak perlu kita dengar," ujar Nurdin di kantor DPP Partai Golkar, Jalan Anggrek Neli Murni, Slipi, Jakarta, Jumat (21/7/2017), malam.

Menurut Nurdin Golkar memiliki mekanisme untuk melakukan munaslub yakni harus lewat usulan Dewan Pimpinan Daerah Provinsi.

Namun, kata Nurdin, dari tingkat provinsi hingga Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar sampai hari ini tidak ada usulan untuk munaslub untuk mengganti Novanto.

"Karena ada mekanisme untuk munaslub. Yaitu diusulkan DPD 2 dan DPD 1, 2 atau 3. Tidak ada yang mengusulkan. Bahkan DPD 1 sudah berketepatan, Rapimnas memutuskan tidak ada munaslub," kata dia.

Nurdin menegaskan munculnya desakan tersebut tidak perlu dibesar-besarkan.

"Jadi kalau ada suara perseorangan ya anggap biasa aja," kata dia.
 
Ketua Koordinator Bidang Pemenangan Pemilu Indonesia I Sumatera-Jawa Partai Golkar, Nusron Wahid, gejolak yang terjadi di Golkar merupakan bagian dari dinamika.

"Kasih kesempatan Golkar berkonsolidasi internal dulu. Pasti akan segera menemukan formatnya. Di Golkar itu sudah biasa mengarungi ombak yang besar," ujar Nusron di Hotel Pullman, Jalan M. H. Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (19/7/2017).

Nusron yakin Golkar akan menemukan jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi Novanto.

"Tidak ada kasus Pak SN pun dinamika di internal Golkar sudah tinggi. Jadi ibarat lautan, ombaknya sudah terbiasa tinggi," kata Nusron.

Pada Senin (17/7/2017), KPK menetapkan Novanto menjadi tersangka.

Novanto diduga menggunakan jabatan untuk menguntungkan pribadi, orang lain atau suatu korporasi yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun.

Novanto juga diduga berperan mempengaruhi pemenangan proyek e-KTP yang nilainya mencapai Rp5,9 triliun.

Novanto disangka melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI