Kisah Pembubaran Organisasi di Indonesia: Dari Masyumi hingga HTI

Reza Gunadha Suara.Com
Rabu, 19 Juli 2017 | 17:51 WIB
Kisah Pembubaran Organisasi di Indonesia: Dari Masyumi hingga HTI
[Suara.com/Kolase]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pelarangan dan pencabutan badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Perundang-udangan (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan menimbulkan polemik.

Satu sisi, perppu pengganti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas tersebut dinilai langkah efektif untuk mengeliminasi organisasi-organisasi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila maupun NKRI.

Sementara di lain sisi, pencabutan badan hukum HTI dan penerbitan perppu itu dianggap sebagai ancaman serius bagi demokrasi serta penegakan hak asasi manusia (HAM).

Polemik tersebut sebenarnya bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Sebab, HTI sendiri bukanlah organisasi pertama yang dilarang di tanah air.

Baca Juga: Anggota DPR Ingin Citra Parlemen Dipulihkan Usai Novanto Jadi TSK

Setidaknya, sejak era Presiden pertama RI Soekarno, terdapat kebijakan pembubaran organisasi dengan alasan politis maupun lainnya.

Masyumi dan PSI

Gelanggang politik Indonesia pada era 1960-an terbilang hiruk-pikuk. Pertarungan politik aliran dan identitas berada di tengah panggung.

Pada masa yang sama, tak sedikit “barisan sakit hati” melakukan pemberontakan besenjata terhadap pemerintahan Bung Karno dan konsepsi Demokrasi Terpimpin.

Selain pemberontakan Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/TII), satu upaya pemberontakan besar lainnya pada masa itu adalah gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Baca Juga: Demokrat Galang Koalisi untuk RUU Pemilu

Terkait PRRI, pemerintah menduga dua partai politik peserta Pemilu 1955 ikut terlibat dalam pemberontakan tersebut.

Kedua parpol itu ialah Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia Masyumi) dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Masyumi dan PSI dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan dibubarkan Bung Karno tahun 1960.

PKI dan Ormas-ormasnya

Sejarah pembubaran organisasi paling kontroversial terjadi pada tahun 1965, yakni yang menyasar Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta seluruh ormas-ormas underbouw-nya.

Pembubaran dan pelarangan PKI serta ormas-ormasnya ini bermula dari tragedi Gerakan Satu Oktober (Gestok) 1965.

Jumat (1/10/65), terjadi penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal TNI Angkatan Darat oleh sekelompok perwira muda TNI. Setelah peristiwa itu, angkatan bersenjata mengklaim Gestok tersebut didalangi PKI.

Akibatnya, Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR) menetapkan pembubaran dan pelarangan PKI yang diikuti tragedi kemanusiaan berupa pembantaian banyak anggota dan simpatisan partai tersebut serta pendukung Bung Karno.

Selain itu, imbas pembubaran PKI itu adalah pelarangan serta pembubaran ormas partai tersebut, yakni Pemuda Rakyat (PR).

Tak hanya itu, ormas-ormas yang memunyai kesamaan konsepsi dengan PKI, seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (Sobsi) dan lainnya juga dilarang.

Beragam insitusi pendidikan yang dinilai komunis juga dibubarkan dan dilarang berdiri kembali, semisal Institut Ilmu Sosial Ali Archam dan Universitas Res Publica.

Kasus Gafatar

Pemerintah melalui jaksa agung, menteri agama, dan menteri dalam negeri, secara resmi mengeluarkan keputusan melarang kegiatan dan aktivitas organisasi kemasyarakatan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) pada tahun 2016.

Selengkapnya, pemerintah melarang Gafatar melalui Surat keputusan bersama tersebut bernomor 93 Tahun 2016, Kep- 043/A/JA/02/2016, dan 223-865 Tahun 2016.

Alasannya, Gafatar mengajarkan pemahaman yang sesat kepada masyarakat. Gafatar disebut sebagai “jelmaan” Al Qiyadah Al Islamiyah yang dipimpin Ahmad Musadeq.

Ketika Musadeq dipenjara dan Al Qiyadah dianggap organisasi terlarang, sejumlah alumninya membangun Gafatar.

Tahun 2011, Gafatar sempat mendaftar ke Kemendagri. Kala itu mereka mendaftar menggunakan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga sebagai lembaga sosial kemasyarakatan.

Tapi, kebijakan pemerintah berubah ketika Gafatar ketahuan membangun kamp permukiman eksklusif di Kalimantan Barat pada Januari 2016. Pembangunan pemukiman itu dianggap sebagai embrio pembentukan negara baru di dalam NKRI.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI