Suara.com - Pelarangan dan pencabutan badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Perundang-udangan (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan menimbulkan polemik.
Satu sisi, perppu pengganti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas tersebut dinilai langkah efektif untuk mengeliminasi organisasi-organisasi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila maupun NKRI.
Sementara di lain sisi, pencabutan badan hukum HTI dan penerbitan perppu itu dianggap sebagai ancaman serius bagi demokrasi serta penegakan hak asasi manusia (HAM).
Polemik tersebut sebenarnya bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Sebab, HTI sendiri bukanlah organisasi pertama yang dilarang di tanah air.
Baca Juga: Anggota DPR Ingin Citra Parlemen Dipulihkan Usai Novanto Jadi TSK
Setidaknya, sejak era Presiden pertama RI Soekarno, terdapat kebijakan pembubaran organisasi dengan alasan politis maupun lainnya.
Masyumi dan PSI
Gelanggang politik Indonesia pada era 1960-an terbilang hiruk-pikuk. Pertarungan politik aliran dan identitas berada di tengah panggung.
Pada masa yang sama, tak sedikit “barisan sakit hati” melakukan pemberontakan besenjata terhadap pemerintahan Bung Karno dan konsepsi Demokrasi Terpimpin.
Selain pemberontakan Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/TII), satu upaya pemberontakan besar lainnya pada masa itu adalah gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Baca Juga: Demokrat Galang Koalisi untuk RUU Pemilu
Terkait PRRI, pemerintah menduga dua partai politik peserta Pemilu 1955 ikut terlibat dalam pemberontakan tersebut.