Aksi Bullying dan Lingkaran Setan, Siapa Bertanggungjawab?

Selasa, 18 Juli 2017 | 19:04 WIB
Aksi Bullying dan Lingkaran Setan, Siapa Bertanggungjawab?
Fahira Idris [dok. Fahira Idris]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Aksi bullying atau perundungan yang melibatkan pelajar kembali terjadi. Kali ini dilakukan beberapa pelajar SD dan SMP yang melakukan kekerasan fisik terhadap siswi kelas 6 SD Negeri Tanah Abang, Jakarta Pusat, di pusat perbelanjaan Thamrin City, Jakarta. Aksi bullying juga terjadi di kampus Univeristas Gunadarma, Depok, Jawa Barat, dimana beberapa mahasiswa mengejek dan mem-bully seorang mahasiswa berkebutuhan khusus yang sebenarnya harus mereka lindungi.

“Aksi bullying seperti lingkaran setan yang kalau tidak kita putus akan terus berulang. Anak-anak SMP yang jadi pelaku bully sebenarnya juga korban dari sebuah kondisi lingkungan yang menganggap mem-bully adalah sesuatu yang biasa atau normal. Kita harus punya blueprint memutuskan lingkaran setan bullying ini,” ujar Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris di Jakarta (18/7/2017).

Fahira mengungkapkan aksi bullying baik verbal maupun fisik di dunia pendidikan atau yang melibatkan pelajar, bukan hanya menjadi persoalan serius di Indonesia tetapi juga banyak negara lain di dunia. Banyak negara sudah berhasil menekan aksi bullying karena Pemerintahnya memformulasikan cetak biru pendidikan anti-bullying yang berisi kerangka kerja terperinci sebagai dijadikan landasan kebijakan, sasaran, strategi hingga kepada detail kegiatan serta teknis pelaksanaan di mana sekolah menjadi yang terdepan mengimplementasikannya.

Menurut Fahira persoalan aksi bully oleh pelajar sangat kompleks dan multidemensi sehingga penangannya juga harus komprehensif. Dalam konteks bully yang melibatkan anak-anak, pelaku juga harus kita anggap sebagai korban dan dia punya hak untuk disadarkan bahwa perbuatannya itu salah bahkan sebuah kejahatan. Selain itu, orang tua, sekolah dan guru harus intropeksi, kenapa anak dan pelajar mereka menjadi pelaku bully.

Pihak pertama, kata Fahira, yang harus lebih dulu disadarkan bahwa aksi bully adalah persoalan serius adalah orangtua, sekolah termasuk guru. Jika pihak-pihak ini sadar maka mereka akan berpikir dan tergerak untuk membuat pendidikan anti-bullying di sekolah masing-masing dan orang tua lebih aware terhadap perilaku anaknya.

“Semua ini bisa berjalan dengan baik jika ada cetak biru pendidikan anti-bullying sehingga baik sekolah maupun orangtua, tinggal menjalankannya dan anak-anak kita bisa terhindar baik sebagai pelaku maupun korban bully,” kata senator Jakarta.

Beberapa negara di dunia, kata Fahira, seperti Inggris dan Finlandia mempunya program pendidikan anti-bullying yang cukup efektif. Di Finlandia misalnya terdapat program anti bullying berbasis sekolah yang inovatif bernama KiVa yang melibatkan guru, murid, dan orangtua.

“Di Finlandia, orangtua yang mau menyekolahkan anaknya wajib mengikuti pendidikan anti-bullying. Nah, di sekolah, anak-anak ini mendapat pendidikan anti-bullying yang disampaikan dengan cara-cara kreatif dan interaktif misalnya lewat game online, video, sampai poster. Cara-cara seperti ini ternyata efektif membentuk karakter anti-bullying pada anak sejak usia dini,” kata Fahira.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI