Ketua Pansus Angket DPR untuk Pelindo II, Rieke Diah Pitaloka, berharap kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menindaklanjuti hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan terkait penyimpangan atas perpanjangan kontrak kerjasama untuk pengelolaan, pengoperasian pelabuhan PT. JICT antara Pelindo II dengan Hutchison Port Holding pada 2014.
Politikus PDI Perjuangan meyakini ada pihak yang mestinya bertanggungjawab atas penyimpangan yang merugikan negara hingga Rp4,08 Triliun.
"Saya nggak bisa mengatakan siapa yang harus bertanggungjawab karena saya bukan orang yang berwenang mengatakan. Tapi indikasi dari temuan Pansus DPR dan BPK ada pihak-pihak yang dianggap bisa bertanggungjawab untuk sementara," kata Rieke di usai memberikan hasil audit investigatif BPK kepada KPK, di KPK, Jalan Kuningan Persada, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (17/7/2017).
Hasil audit investigatif BPK tersebut bisa dijadikan referensi oleh KPK untuk mengungkap siapa saja yang harus bertanggungjawab atas kasus tersebut.
"Nanti kita tunggu tindaklanjutnya dari KPK. Entah itu pihak manajemen (Pelindo) ataupun pihak kementerian terkait. Tapi intinya kami minta dukungan pada KPK agar bisa ungkap kasus yang nilainya saya kira fantastis," tutur Rieke.
Rieke berharap kasus tersebut tidak dipetisikan dan tidak ada intervensi politik dari pihak manapun dalam proses pengungkapannya.
"Karena kami berpendapat pansus bisa jadi pintu masuk untuk kita semua membenahi tata kelola BUMN. Sehingga BUMN betul-betul bisa jadi tulang punggung perekonomian negara, memberi keuntungan sebesar-besarnya pada kemaslahatan rakyat Indonesia," ujar Rieke.
Melalui hasil audit investigatif, BPK mengungkap adanya lima temuan spesifik terkait kerjasama tersebut, Pertama, yaitu terkait rencana perpanjangan JICT tidak pernah dibahas dan dimasukan sebagai rencana kerja dan RJPP dan RKAP Pelindo II, serta tidak pernah diinfokan kepada pemangku kepentingan dalam Laporan Tahunan 2014. Padahal, rencana itu telah diinisiasi oleh Dirut Pelindo sejak 2011.
Kedua, perpanjangan kontrak kerja sama pengelolaan dan pengeoperasian JICT yang ditandatangani PT Pelindo II dan HPH ditemukan tidak menggunakan permohonan ijin konsesi dari Menteri Perhubungan terlebih dahulu.
Ketiga, penunjukan HPH oleh Pelindo II sebagai mitra ternyata dilakukan tanpa melalui mekanisme pemilihan mitra yang yang seharusnya. Keempat, ditemukan pula adanya perpanjangan kerjasama pengelolaan dan pengoperasian JICT yang ditandatangani oleh Pelindo II dan HPH tanpa persetujuan RUPS dan Menteri BUMN.
Kelima, yaitu soal penunjukan Deutsche Bank sebagai financial advisor yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Politikus PDI Perjuangan meyakini ada pihak yang mestinya bertanggungjawab atas penyimpangan yang merugikan negara hingga Rp4,08 Triliun.
"Saya nggak bisa mengatakan siapa yang harus bertanggungjawab karena saya bukan orang yang berwenang mengatakan. Tapi indikasi dari temuan Pansus DPR dan BPK ada pihak-pihak yang dianggap bisa bertanggungjawab untuk sementara," kata Rieke di usai memberikan hasil audit investigatif BPK kepada KPK, di KPK, Jalan Kuningan Persada, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (17/7/2017).
Hasil audit investigatif BPK tersebut bisa dijadikan referensi oleh KPK untuk mengungkap siapa saja yang harus bertanggungjawab atas kasus tersebut.
"Nanti kita tunggu tindaklanjutnya dari KPK. Entah itu pihak manajemen (Pelindo) ataupun pihak kementerian terkait. Tapi intinya kami minta dukungan pada KPK agar bisa ungkap kasus yang nilainya saya kira fantastis," tutur Rieke.
Rieke berharap kasus tersebut tidak dipetisikan dan tidak ada intervensi politik dari pihak manapun dalam proses pengungkapannya.
"Karena kami berpendapat pansus bisa jadi pintu masuk untuk kita semua membenahi tata kelola BUMN. Sehingga BUMN betul-betul bisa jadi tulang punggung perekonomian negara, memberi keuntungan sebesar-besarnya pada kemaslahatan rakyat Indonesia," ujar Rieke.
Melalui hasil audit investigatif, BPK mengungkap adanya lima temuan spesifik terkait kerjasama tersebut, Pertama, yaitu terkait rencana perpanjangan JICT tidak pernah dibahas dan dimasukan sebagai rencana kerja dan RJPP dan RKAP Pelindo II, serta tidak pernah diinfokan kepada pemangku kepentingan dalam Laporan Tahunan 2014. Padahal, rencana itu telah diinisiasi oleh Dirut Pelindo sejak 2011.
Kedua, perpanjangan kontrak kerja sama pengelolaan dan pengeoperasian JICT yang ditandatangani PT Pelindo II dan HPH ditemukan tidak menggunakan permohonan ijin konsesi dari Menteri Perhubungan terlebih dahulu.
Ketiga, penunjukan HPH oleh Pelindo II sebagai mitra ternyata dilakukan tanpa melalui mekanisme pemilihan mitra yang yang seharusnya. Keempat, ditemukan pula adanya perpanjangan kerjasama pengelolaan dan pengoperasian JICT yang ditandatangani oleh Pelindo II dan HPH tanpa persetujuan RUPS dan Menteri BUMN.
Kelima, yaitu soal penunjukan Deutsche Bank sebagai financial advisor yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.