Suara.com - Kontroversi Peraturan Pemerintah Pengganti Perundang-Undangan tentang Organisasi Kemasyarakatan terus berlanjut. Perppu ini dinilai mengabaikan nilai demokrasi dalam hak berkumpul dan berpendapat.
Koordinator Setara Institut Hendardi mengatakan Perppu ini legal dan konstitusional. Meski ada persepsi jika Perppu ini berpotensi bahaya yang ditimbulkan terhadap demokrasi dan HAM.
“Apalagi, sebagai produk yang dibentuk atas dasar kegentingan yang memaksa, pemerintah hingga 1 minggu setelah Perppu terbit belum melakukan tindakan apapun terhadap obyek yang dianggap membahayakan bagi sendi-sendi kehidupan bernegara,” jelas Hendardi dalam siaran pers yang diterima suara.com, Senin (17/7/2017).
Pada dimensi HAM, lanjut Hendardi, perlu disampaikan bahwa dewasa ini munculnya radikalisme berbasis agama dan ekstrimisme dengan kekerasan serta fenomena failed state di Timur Tengah dan Afrika dikarenakan konflik komunal dan kekerasan membuat sejumlah pakar hak asasi mempertanyakan apakah konsep negara dalam perspektif HAM tradisional yang menekankan pada penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi individu masih relevan.
Baca Juga: Perppu Ormas Dituding Upaya Pemerintah Lemahkan Sipil
Perspektif HAM tradisional menekankan kewajiban negara (state duties) untuk pemenuhan hak warga negara. Perspektif HAM tradisional mengandaikan negara demokratis dan negara bisa menjalankan fungsi dan kapasitasnya secara normal. Tidak pernah atau jarang dipikirkan bagaimana kalau negara mengalami kesulitan dan krisis sehingga tidak mampu dan berkapasitas menjalankan kewajibannya dalam pemenuhan hak warga negara.
“Karena itu perspektif HAM harus melihat konteks atau kontekstual, tidak saja memenuhi hak warganegara tapi juga membuat negara tetap bisa menjalankan fungsi dan kapasitasnya,” kata dia.
Kata Hendardi, Perppu merupakan exercise formula keseimbangan yang mencoba merumuskan margin of appreciation baru hak asasi manusia di tengah situasi radikalisme dan ekstremisme yang terus membesar di Republik Indonesia. Sebagai sebuah kebijakan pembatasan, maka kekhawatiran atas abuse of power atas kuasa negara untuk membubarkan ormas dan pemidanaan subyek-subyek hukum yang melanggar, adalah sesuatu yang dapat dipahami.
“Kekhawatiran itu harus dijawab dengan implementasi yang transparan, akuntabel, dan presisi pada obyek yang sungguh-sungguh melakukan pelanggaran dan mengancam ideologi Pancasila. Pemerintah, kepolisian, dan kejaksaan adalah institusi kunci yang harus memastikan Perppu ini tidak dijalankan secara sewenang-wenang,” kata dia.
Baca Juga: Presiden PKS: Tak Ada Kegentingan Memaksa untuk Keluarkan Perppu