Polisi Catat 17 Kasus Terkait Terorisme di Telegram

Senin, 17 Juli 2017 | 12:03 WIB
Polisi Catat 17 Kasus Terkait Terorisme di Telegram
Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin, Jaksa Agung HM Prasetyo, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, Menkeu Sri Mulyani, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian, Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang usai Rapat Koordinasi Program Penertiban Impor Beresiko Tinggi di Kantor Ditjen Bea Cukai, Jakarta, Rabu (12/7).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan Detasemen Khusus Anti-Teror menemukan 17 kasus yang terkait terorisme dalam layanan berbincang Telegram. Temuan ini pula yang menjadi alasan pemblokiran Telegram.

Kasus itu ditemukan dalam kurun waktu 2 tahun terakhir. Termasuk kasus bom Thamrin tahun lalu.

"Selama dua tahun terakhir, ada 17 kasus. Kasus bom Thamrin dan lainnya," kata Tito di DPR, Jakarta, Senin (17/7/2017).

Layanan Telegram menjadi pilihan jalur komunikasi pelaku teror karena berbagai alasan. Tito mengatakan Telegram ini sulit disadap dan akunnya tersembunyi sehingga tidak bisa dilacak dengan mudah, serta bisa menampung puluhan ribu member dalam satu grup percakapan.

Baca Juga: Pelaku Bulling Mahasiswa Gundar Berkebutuhan Khusus Minta Maaf

Dengan keunggulan seperti ini, pola dokrinisasi untuk para pelaku teror menjadi lebih mudah. Karena keunggulan itu pula, Tito mengatakan, membuat pola aksi teror jadi berubah dan memunculkan pola teror yang bergerak sendiri atau lone wolf.

"Sekarang ini berkembang lone wolf, jadi mereka tidak terstruktur, bergerak sendiri, menjadi radikal sendiri, ya melalui penggunaan IT sekarang ini. Dulu latihan secara langsung, sekarang tidak. Tinggal online, chat, tanya, survei, sharing. Nah, Telegram ini salah satu favorit mereka karena itu," ujar dia.

Polri sempat meminta agar Telegram memberikan akses kepadanya untuk menelusuri komunikasi pelaku teror ini. Namun, pihak Telegram tidak melayaninya. Sehingga, Polri meminta bantuan pemerintah untuk melakukan pemblokiran terhadap layanan berbincang itu.

"Kita minta kepada Telegram bukan ditutup sebenarnya. Tapi tolong kami diberi akses. Kalau sudah menyangkut urusan terorisme, keamanan, kami tahu siapa itu yang memerintahkan untuk melakukan pengeboman dan menyebarkan paham radikal. Tapi nggak dilayani, nggak ditanggapi. Yah kalau nggak ditanggapi kita tutup," kata dia.

Belakangan, Telegram mengakui kesalahannya. Bahkan, kata Tito, pihak Telegram ‎membangun komunikasi lagi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Baca Juga: Kenapa Teroris Gunakan Aplikasi Telegram, Ini Jawabannya

Tito pun tidak mempermasalahkan ketika Telegram nanti dibuka kembali. Asalkan, Polri diberikan akses untuk menelusuri kasus terorisme.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI