Suara.com - Pemblokiran penyedia platform percakapan Telegram oleh Kemenkominfo, Jumat (14/7/ 2017) mendapat protes keras dari Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi atau Gedor. Penutupan akses Telegram, menurut aliansi startegis 80 organisasi sipil dan individu ini, adalah tindakan sewenang-wenang dan membahayakan demokrasi.
“Pemerintah telah melampaui wewenangnya dalam menjalankan Pasal 40 UU ITE Nomor 19 tahun 2016, dengan kebijakan yang cenderung abusif. Kami mendesak pemerintah untuk segera kembali membuka akses Telegram,” kata narahubung Gedor, Dhyta Caturani dalam keterangan pers, Sabtu (15 /7/ 2017).
Memutus akses yang tidak jelas efektivitasnya, lanjut Dhyta, hanya solusi permukaan yang tidak menyelesaikan masalah. Untuk itu, kebijakan blokir ini perlu segera dievaluasi karena penerapannya tidak transparan sehingga publik tidak mengetahui siapa yang meminta pemblokiran. “Tindakah ini arogan, sewenang-wenang dan membayakan demokrasi,” kata Dhyta.
Selain menutup Telegram, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengancam akan menutup akses sejumlah platform media sosial asing yang beroperasi di Indonesia jika tidak mau bekerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk menangkal konten-konten berbau hoax, fake news, dan radikalisme baik dalam bentuk foto, tulisan, hingga video. Menkominfo Rudiantara mengatakan, selama 2016 hingga 2017 platform media sosial luar negeri baru bisa menangkal sekitar 50 persen konten-konten hoax, fake news, dan radikalisme.
"Penyedia platform internasional sangat mengecewakan kami. Kami meminta untuk memperbaiki ini. Kalau tidak ada perbaikan, kita akan serius dan akan sangat mempertimbangkan menutup platform-platform tersebut kalau terpaksa," ujar Menkominfo Rudiantara.
Telegram messenger menjadi platform yang langsung ditutup di hari yang sama. Dalam Siaran Pers Kementerian Komunikasi dan Informatika No. 84/HM/KOMINFO/07/2017 Tentang Pemutusan Akses Aplikasi Telegram dijelaskan bahwa Kementerian Komunikasi dan Informatika pada tanggal 14 Juli 2017 telah meminta Internet Service Provider (ISP) untuk melakukan pemutusan akses (pemblokiran) terhadap sebelas Domain Name System (DNS) milik Telegram,
yaitu: t.me, telegram.me, telegram.org, core.telegram.org, desktop.telegram.org, macos.telegram.org, web.telegram.org, venus.web.telegram.org, pluto.web.telegram.org, flora.web.telegram.org, dan flora-1.web.telegram.org. Dampak terhadap pemblokiran ini adalah tidak bisa diaksesnya layanan Telegram versi web (tidak bisa diakses melalui komputer).
Pemblokiran ini dilakukan karena menurut Kemkominfo banyak sekali kanal yang ada di layanan tersebut bermuatan propaganda radikalisme, terorisme, paham kebencian, ajakan atau cara merakit bom, cara melakukan penyerangan, disturbing images, dan lain-lain yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Dasar pemutusan akses tersebut adalah pasal 40 UU ITE No. 19 Tahun 2016 yang memberi kewenangan penuh pada pemerintah untuk memutus akses pada media internet yang mengandung muatan yang dilarang. Dalam pengaturan mengenai internet di Indonesia yang dianggap muatan yang dilarang adalah: pornografi, perjudian, namun juga pencemaran nama, penodaan agama, pengancaman, dan lain-lain.
Dhyta menjelaskan bahwa pemutusan akses telegram ini adalah tindakan blokir pemerintah yang sewenang-wenang. Langkah pemerintah untuk memblokir telegram hari ini yang ditujukan untuk menyikapi pemanfaatan telegram untuk aktivitas terorisme bisa mengakibatkan pengguna telegram messenger lain yang tidak menggunakannya untuk kepentingan terorisme mengalami kerugian.
Memang terorisme harus diatasi tetapi mengambil langkah pemblokiran telegram hanya semata teroris memanfaatkannya adalah solusi di permukaan dan menunjukkan pemerintah tidak memikirkan persoalan ini cukup matang dan terkesan reaksioner. Solusi ini sekalipun dinilai efektif hanya berlaku pendek, karena kelompok teroris bisa dengan cepat pindah ke platform digital lain. "pakah kemudian pemerintah akan melakukan blokir lagi dan lagi pada setiap platform digital di mana aksi terorisme berada?
"Kami juga mempertanyakan apakah solusi pemerintah untuk mengatasi cyberterrorism atau terorisme siber hanya berupa blokir? Dan tidak melakukan upaya serius untuk mencari cara lain?" kata Dhyta.
Banyak cara yang bisa dilakukan selain menempuh jalur blokir. Seperti Pemerintah Jerman pada April 2017 memimpin negara-negara Eropa untuk mendorong penerapan denda Rp 7 Milyar pada platform digital yang membiarkan konten radikalisme dan hoax merajalela. Pertimbangan pemerintah itu diambil karena penyedia platform digital punya kewajiban untuk menjaga platformnya disalahgunakan oleh pihak yang memanfaatkannya di luar tujuan pembuatan platform tersebut.
"Mengapa bukan cara ini yang diambil oleh pemerintah dan alih-alih hanya mengambil jalan pintas tanpa mempertimbangkan kepentingan publik yang dirugikan," kata dia.