Suara.com - Pemerintah dan panitia khusus revisi Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sepakat dilakukan penyadapan dalam proses menangkap terduga teroris. Tetapi, penyadapan harus dilakukan setelah mendapatkan izin dari pengadilan agar nanti tidak sewenang-wenang.
"Itu isu krusial dan sudah kami putuskan," kata ketua panitia khusus RUU terorisme Muhammad Syafi'i usai rapat dengan perwakilan pemerintah di DPR, Jakarta, Kamis (13/7/2017).
Syafi'i mengatakan penyadapan tercantum pada Pasal 31 RUU dan masuk dalam Daftar Inventaris Masalah nomor 72.
Namun, kata Syafi'i, dalam RUU tidak disebutkan dengan rinci mengenai perizinan, waktu, pertanggungjawaban, dan persyaratan dalam penyadapan sehingga hal itu perlu dipertegas lagi.
"Misalnya, izinnya jelas dari pengadilan negeri, ada batas penyadapan satu tahun dan melaporkan hasil penyadapannya kepada atasannya," kata dia.
Syafi'i mengatakan masalah teknis penyadapan juga perlu dicantumkan dalam RUU, misalnya spesifikasi alat perekam, tujuan perekaman, identitas yang merekam, dan kapan waktu perekaman.
Hasil rekaman, kata Syafi'i, harus dipastikan tidak boleh ditunjukkan kepada siapapun, dan tidak boleh dibocorkan dengan alasan apapun. Alat perekam itu tidak boleh dipinjamkan, disewakan, serta diperjualbelikan.
"Dan sesuai keputusan MK apa yang dimuat dalam RUU itu (teroris) belum memadai. Maka sepakat untuk mengkonversi ulang pasal itu dan akan dibawa dalam konsinyering," kata dia.
Isu krusial kedua yang disepakati yaitu Daftar Inventaris Masalah nomor 80 atau Pasal tentang perlindungan. Syafi'i mengatakan perlindungan diberikan kepada saksi, pelapor, ahli, hakim, advokat, polisi, dan penyidik, termasuk petugas lembaga pemasyarakatan.
Pansus terorisme menginginkan perlindungan dimasukkan dalam RUU. Pansus tak mau sekedar dijelaskan dalam peraturan pemerintah karena kurang efektif.
Politikus Gerindra menyarankan supaya perlindungan yang diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban tidak perlu dijelaskan lagi di dalam RUU Terorisme.
"Maka tadi kita sepakati semua yang sudah dilindungi oleh undang-undang yang lain, contohnya, saksi, pelapor dan ahli, itu diatur didalam UU nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, itu jangan diatur lagi (di RUU Terorisme) ini," tuturnya.
Lebih jauh, Syafi'i mengakui saat ini masih ada empat pasal dari 32 daftar inventaris yang belum disepakati pemerintah dan DPR.
"Di antaranya definisi teroris, definisi tindak pidana terorisme, penguatan kelembagaan BNPT dan penanganan pasca peristiwa terorisme," kata dia.