Suara.com - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) protes keras dengan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Perppu ini berpotensi melanggar HAM.
Koordinator KontraS Yati Andriyani menjelaskan Perppu ini telah menunjukkan watak insekuritas dan kegagapan negara dalam melihat dinamika kebebasan berserikat, berkumpul. Termasuk tanding tafsir atas situasi kebebasan beropini serta gagasan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
“Keluarnya Perppu ini adalah indikasi buruk atas semangat perlindungan kebebasan-kebebasan fundamental yang sebenarnya dapat dikelola secara dinamis menggunakan alat uji dan fungsi penegakan hukum,” jelas Yati dalam siaran persnya, Kamis (13/7/2017).
KontraS mencatat beberapa pokok hal yang dapat menyulut permasalahan hukum dan perlindungan HAM di masa depan pasca dikeluarkannya Perppu ini. Menurut hukum HAM internasional, hak asasi manusia dapat diderogasi (dibatasi) dengan sejumlah ukuran ketat yang telah diatur oleh instrumen hukum HAM internasional melalui Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Baca Juga: Perppu Ormas Ancam Kebebasan Berserikat
“Derogasi tersebut dapat digunakan secara absah oleh negara-negara pihak dari ICCPR untuk menjamin berlangsungnya roda negara dan perlindungan absolut atas operasionalisasi hak-hak asasi manusia lainnya jika situasi ancaman, konflik, kedaruratan terjadi,” jelas dia.
KontraS juga menilai alasan penerbitan Perppu ini memaksa. Tidak ada hal yang genting. Selain itu tentang larangan eksesif dan tidak terukur pada Pasal 59. KontraS menemukan banyak kejanggalan dari logika yang ditawarkan pemerintah untuk menjamin stabilitas politik dan keamanan terselenggara dengan baik.
“Mengapa? Pasal 59 (2) memberikan bobot larangan ketimbang pembatasan yang kuat dan eksesif pada isu dan topik larangan mengadopsi simbol yang memiliki kemiripan dengan ormas, negara, organisasi internasional, larangan untuk menerima dan memberikan termasuk mengumpulkan dana untuk parpol. Selain itu larangan ormas untuk melakukan penistaan agama dan praktik kekerasan, termasuk mengambil sikap dan tindakan menyerupai aparat penegak hukum, dan isu ormas dengan larangan kegiatan separatisme termasuk penyebar luasan ide dan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila,” papar dia.
KontraS juga menilai ketidakmampuan negara untuk membedakan pembatasan hak dengan situasi kedaruratan. Perppu juga tidak memiliki prinsip proporsionalitas, legalitas, tujuan dan manfaat ke depannya (nesesitas) ini.
“Presiden Joko Widodo harus segera membatalkan Perppu Pembubaran Ormas dan melakukan kajian hukum seksama atas situasi penanganan praktik ujaran kebencian, advokasi kekerasan dan operasionalisasi diskriminasi yang dilakukan ormas-ormas garis keras menggunakan landasan penegakan hukum yang telah tersedia dan bisa dimaksimalkan,” kata dia.
Baca Juga: Soal Perppu Ormas, Amien Rais: Kayak HTI Bikin Runtuh Dunia Saja
Selain itu DPR harus segera melakukan pembahasan dan menolak keberadaan Perppu pembubaran Ormas. Pemerintah juga harus bertanggungjawab atas segala kemungkinan ekses buruk yang mungkin saja terjadi karena lahirnya kebijakan jalan pintas melalui Perppu ini, termasuk memastikan bahwa Perppu ini tidak berdampak pada semakin mengentalnya polarisasi masyarakat di akar rumput.
“Menghentikan segala bentuk jalan pintas yang melangkalahi hukum dan prinsip-prinsip HAM dalam menghadapi dinamika politik dan kebangsaan,” tutup dia.