Suara.com - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin melepas 136 santri dan santriwati untuk belajar di Turki. Program ini merupakan kerjasama yang ke-10 antara Kementerian Agama Republik Indonesia dengan United Islamic Cultural Centre Of Indonesia.
Salah satu santri yang lolos program ini bernama Amar Sididiqui (17). Perwakilan dari Batam, Kepulauan Riau itu mengatakan telah melakukan persiapan dua tahun, sebelum akhirnya akan diberangkatkan ke Turki.
"Kita mulai menghafal Al Quran, itu kemudian setelah kita khatam. Setelah selesai menghafal itu langdung belajar bahasa Turki, belajar Bahasa Arab, kemudian kitab kitab yang lainnya, setelah semua siap baru kita berangkat ke Turki," ujar Amar di Gedung Kemenag, Jalan M. H. Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (11/7/2017).
Masa karantina dan pendidikan dua tahun harus dilalui lebih dulu. Santri yang mampu menghafal Al Quran dalam kurun waktu satu tahun, kata dia, bisa lolos dalam program pendidikan di Turki.
Baca Juga: Kisah Guru Hafiz Al Quran yang Buta di Jalur Gaza
Dalam program ini, santri yang berangkat ke Turki minimal sudah menyelesaikan pendidikan ditingkat SMP/sederajat dan maksimal usia 20 tahun.
Menurut Amar, santri yang mengikuti program ini berbeda-beda waktu pendidikan di Turki. Ada yang dua sampai tiga tahun. Dia tertarik mengikuti program ini karena ingin mencari hal yang baru.
"Pertama kita ingin menyelesaikan hafalan, kemudian pengen belajar saja gitu, belajar dengan gaya baru. Kalau di Indoensia sudah biasa. Kalau ini kan pesantrennya dari Turki beda, dari segi budayanya beda, kemudian cara menghafalnya beda," kata dia.
Selama tiga tahun, Amar akan menempuh pendidikan di Istanbul Turki.
Tinggal tiga tahun di negeri orang membuat Amar akan rindu dengan orangtua, keluarga, dan teman-teman yang ada di tanah air. Sebelum memutuskan ikut ini, dia lbih dahulu menyiapkan mental jauh dari orangtua.
Baca Juga: Anak Gunung yang Tewas di Dikdas Mapala UII Ingin Jadi Hafiz
"Yang paling berat itu mungkin ibu. Dari segi finansial mungkin persiapan pakaian segala macamnya, mungkin ada bawa-bawa makanan khas Indonesia gitu kan karna untuk penyesuaian diri," kata dia.
Selama berada di negara Turki, Amar diminta untuk menjaga sikap oleh orangtua.
"Jaga sikap jangan bandel-bandel gitu saja, diminta serius belajarnya, di sana bukan untuk jalan-jalan tapi untuk belajar," kata dia menirukan pesan orangtua.
Selain Amar, santriwati dari Jember, Jawa Timur, Risalatul Muhimah (20) menceritakan awal mula dia lolos untuk mengikuti program pendidikan ke Turki.
Pertama dia harus mengikuti tes seleksi di kantor Kementerian Agama. Setelah mendaftar, Muhimah langsung melakukan persiapan penghafalan Al Quran dan membenarkan bacaan Al Quran.
"Setelah bacaan itu benar kita masuk program tafis setelah kita hatam kita pendalaman bahas Turki," kata dia.
Saat mulai belajar bahasa Turki, Muhimah merasa kesulitan. Menurutnya, bahasa tersebut berbeda cara belajarnya dengan Bahasa Inggris.
Muhimah akan menempuh pendidikan sekitar dua tahun di Balıkesir, Turki.
Lebih jauh, dia awalnya iseng mengikuti program pendidikan ini. Setelah dinyatakan lolos seleksi, dia langsung tertarik. Apalagi program pendidikan di Indonesia dan Turki menurutnya berbeda.
"Dari cara mengahfalkannya, cara mendalami AL Quran-nya juga beda, cara penghormatannya juga berbeda, jadi tertarik," kata dia.
Orangtua Muhimah selalu berpesan untuk hati-hati berada di negara orang.
"Ya harus hati-hati, karena watak lingkungan beda, perlu waspada juga. Yang penting bisa bergaul sama teman dengan baik," kata Muhimah menirukan pesan orangtua.