Suara.com - Panitia Khusus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar rapat dengar pendapat umum dengan pakar hukum tata negara sekaligus mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra. Selain itu mantan Anggota DPR pembuat undang-undang KPK Zain Bedjeber juga hadir.
Rapat itu diadakan di Gedung DPR Jakarta, Senin (10/7/2017). Pansus Angket KPK meminta pandangan dua tokoh itu terkait keberadaan hak angket, penggunaan angket terhadap KPK, kedudukan KPK dalam sistem ketatanegaraan dan sejarah penyusunan/lahirnya KPK.
Yusril yang pertama kali memberikan pandangan. Menurutnya angket merupakan sistem parlemen Indonesia yang sudah dipraktikan sejak awal kemerdekaan sampai dibentuknya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3).
Kata Yusril, angket merupakan hak dimiliki DPR dalam rangka pengawasan. Pengajuan hak angket ini dilakukan terhadap pelaksanaan suatu UU dan kebijakan pemerintah.
Baca Juga: Guru Besar FH UI: Hak Angket KPK Legal Tapi Tak Tepat Sasaran
"Dapatkah DPR secara konstitusi melakukan angket terhadap KPK? Jawab saya, karena KPK dibentuk dengan UU, maka untuk mngwasi pelaksanaan UU itu, DPR dapat melakukan angket terhadap KPK," kata Yusril.
Selain itu KPK masuk ke ranah eksekutif. Sehingga, DPR bisa melayangkan hak angket itu. KPK tidak masuk ke dalam ranah yudikatif karena KPK bukan badan pengadilan yang bisa mengadili dan memutuskan perkara.
"Badan eksekutif apakah masuk? Jawab saya iya. Soalnya berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dalam dibentuklah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara korupsi. Tugas penyelidikan, penyidik, penuntutan, itu tugas eksekutif bukan legislatif atau yudikatif," ujarnya.