ICW: Koruptor Diwawancara, Pansus Angket KPK Tahu Arti Napi Nggak

Minggu, 09 Juli 2017 | 12:51 WIB
ICW: Koruptor Diwawancara, Pansus Angket KPK Tahu Arti Napi Nggak
Peneliti Indonesian Corruption Watch Kurnia Ramadhana. (suara.com/Dian Kusumo Hapsari)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Peneliti dari Indonesian Corruption Watch Kurnia Ramadhana menyebut rombongan langkah anggota panitia khusus hak angket terhadap KPK bertemu para koruptor di lembaga pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Kamis (6/7/2017), sebagai bentuk pemufakatan jahat. Pansus dinilai mencari-cari kesalahan KPK.

"Kami tidak mengerti ya, mereka (pansus angket) mengerti atau tidak arti narapidana. Mewawancarai koruptor untuk menilai KPK adalah sebuah pemufakatan jahat untuk melemahkan KPK. Masa iya pendapat napi ini dibawa sebagi bukti," kata Kurnia di gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (9/7/2017).

Menurut Kurnia seharusnya mereka menggunakan logika bahwa terdakwa kasus korupsi yang telah divonis bersalah oleh pengadilan berarti berarti penyimpangan mereka yang ditemukan KPK telah terbukti. Kalau tidak terbukti, tentu mereka dibebaskan.

"Logikanya kalau ada penyimpangan yang dilakukan oleh KPK, orang yang bersalah itu ya bebas dong. Tapi kan mereka telah divonis berarti memang orang ini bersalah. KPK berjalan sesuai dengan aturan," ujarnya.

Kurnia menyebut pansus hak angket KPK hanya semacam dagelan.

Sebelum menemui narapidana kasus koruptor di Sukamiskin selama delapan jam, keabsahan mereka pun diragukan. Kurnia mengatakan pansus angket hanya beranggotakan tujuh fraksi, padahal seharusnya terdiri dari 10 fraksi di DPR.

"Keabsahannya saja, masih dipertanyakan dan mereka sudah melakukan langkah politik," ujar Kurnia.

Mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki mengumpamakan lembaga antirasuah seperti pesepakbola warga negara asing yang kerap dijegal saat bertanding untuk memberantas korupsi di Liga Indonesia.

"Maaf, KPK seperti pemain sepak bola asing yang didatangkan ke Liga Indonesia. Bukannya dioper bola, malah ditelikung. Lari dijegal teman sendiri. Harusnya diumpan bola supaya bisa menembak dan gol. Bisa memainkan, bisa mengendalikan permainan dan menyerang dengan baik. Ini tidak," katanya, pekan lalu.

Ia pun berbagi pengalamannya saat merintis dibentuknya KPK hingga kembali sebagai Pelaksana Tugas Ketua KPK.

"Kita lari ke kiri malah dijegal teman sendiri. Itu yang saya rasakan sebagai pimpinan KPK. Belum yang lain-lain diancam pula," ujarnya.

Ia menimpali, "KPK katanya tidak dikasih anggaran. Pikiran seperti apa itu? Masa anggota parlemen, pejabat negara mengeluarkan omongan KPK dan polisi tidak usah diberikan anggaran, yang benar saja? Sesuai logika tidak tuh? Kebodohan maksimal, menurut Pak Erry."

Menurut Ruki kehancuran Indonesia karena korupsi sehingga untuk mengatasinya semua pihak harus kompak.

"Mungkin kalau hanya dilihat dari hak angket, tidak melihat ini sistemik. Tapi, buat kami yang mulai dari awal di KPK terasa sekali tekanan demi tekanan kepada kami dari mereka yang kenikmatannya," katanya purnawirawan perwira tinggi polisi.

Ia pun mengimbuhi, "Bagi mereka yang tidak terganggu, ya mereka baik-baik saja. Tapi, bagi kami yang ada di KPK, secara sistemik langkah-langkah pemberantasan korupsi ini mereka ganjal."

Ruki menyampaikan hal tersebut terkait dengan tindakan pansus di DPR RI terkait hak angket KPK yang melakukan sejumlah kegiatan yang dinilai untuk mencari-cari kesalahan KPK, misalnya meminta hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap KPK.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI