Suara.com - PT. Modern International Tbk. akan menutup seluruh gerai 7-Eleven di Indonesia mulai 30 Juni 2017 karena merugi terus. Tapi saat ini gerai Sevel setahap demi setahap sudah tutup.
Sejak lima bulan yang lalu, salah satu Sevel di Rawa Belong, Jakarta Barat, sudah tutup.
Melihat lahan parkir yang sudah tidak terpakai, langsung dimanfaatkan pedagang kaki lima untuk berjualan.
Saat ini, di sana sudah berjejer pedagang soto, nasi goreng, dan aneka camilan. Mulyono, pedagang soto, mengaku sudah berjualan di sini sejak tiga bulan yang lalu.
"Dulu awalnya iseng aja nyoba dagang di sini, soalnya kan Sevel juga tutup jadi dimanfaatin aja lahannya," kata Mulyono kepada Suara.com, Selasa (27/6/2017).
Mulyono mengaku tidak meminta izin lebih dulu dari pengelola Sevel alasanna karena sudah tidak ada pengelolanya. Dia hanya meminta izin dari petugas parkir di kawasan tersebut.
"Manajemennya kan udah nggak ada, mau izin sama siapa kita. Kita izinnya sama yang megang parkiran Sevel. Istilahnya bayar uang keamanan aja," ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan Jumali, pedagang sate Padang. Setiap bulan, dia membayar Rp500 ribu untuk bisa berjualan di lahan parkir bekas Sevel.
"Buat bayar keamanan, hitung-hitung sekalian sewa tempat. Kan lumayan, dari pada ditempat lain sewa udah jutaan mending disini. Toh sevel juga udah tutup, jadi nggak bakal ganggu siapa-siapa kan," katanya.
Praktisi bisnis Rhenald Kasali kurang setuju dengan pendapat sejumlah pengamat yang menyebutkan konsep Sevel gagal diterapkan.
"Konsep nongkrong itu nggak salah, nyatanya konsep ini juga banyak ditiru perusahaan ritel lainnya. Menyediakan wifi, berbagai macam makanan ringan, dan kopi. Ini justru bisa mendongkrak penjualan. Maka dari itu saya bilang kurang tepat," kata Rhenald.
Justru Rhenald menyoroti regulator. Menurut Rhenald pemerintah belum siap dengan model bisnis yang dibawa Sevel. Itu sebabnya, Sevel kena dampak lantaran regulasi yang tumpang tindih antar kementerian.
"Jadi saat Sevel masuk ke Indonesia, regulasi yang mengaturnya itu nggak siap. Karena kan model bisnisnya berbeda dari ritel lainnya. Kementerian yang satu bilang boleh, tapi kementerian yang satunya bilang tidak boleh. Kementerian ini ingin menerapkan aturan dengan lainnya seperti ritel besar-besar yang tidak ada restorannya," katanya.
Akibat regulasi yang tumpang tindih, pengelolaan Sevel sulit.
"Karena supermarket itu diizinkan untuk menjual minuman beralkohol yang di bawah 5 persen misalnya bir, tiba-tiba dikatakan mereka tidak boleh jual bir, karena bukan supermarket," ujarnya.
Rhenald berharap kasus Sevel menjadi pembelajaran serius bagi regulator. Regulator, kata dia, harus memperbarui diri dan memahami perkembangan zaman.