Suara.com - Polemik rencana pembekuan anggaran KPK dan kepolisian oleh DPR RI merebak setelah Miryam S. Haryani tidak hadir dalam rapat Panitia Khusus Hak Angket KPK pekan lalu.
Wacana itu kemudian menimbulkan ketidaknyamanan antara DPR RI, kepolisian, dan KPK.
Ketua Fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini menilai semua pihak jangan saling ancam terkait dengan perbedaan pendapat antara Pansus Hak Angket KPK dan kepolisian serta KPK yang berujung pada usulan pembekuan anggaran KPK dan Polri.
Ia berharap antarlembaga negara harus saling menghormati antara satu lembaga dan yang lainnya.
Jazuli menyarankan Polri harus koorperatif serta DPR bersikap objektif dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Anggota Komisi I DPR itu juga meminta Polri dan KPK menghormati DPR dan undang-undang yang berlaku.
Ia menilai DPR tidak perlu mengancam menghapus anggaran Polri dan KPK.
Polemik ini merebak setelah anggota Panitia Khusus Hak Angket KPK Mukhamad Misbakhun mengusulkan agar DPR mempertimbangkan tidak membahas anggaran Polri dan KPK pada tahun 2018 karena kedua institusi tersebut tidak mau menjalankan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
"Kami mempertimbangan untuk menggunakan hak budgeter DPR yang saat ini sedang dibahas RAPBN 2018 mengenai pagu indikatif mengenai kementerian/lembaga," kata Misbakhun di Gedung Nusantara III, Jakarta, Selasa (20/6).
Hal itu terkait dengan sikap KPK dan Polri yang tidak sejalan dengan pandangan Pansus KPK yang ingin memanggil tersangka pemberi keterangan palsu dalam sidang kasus dugaan korupsi KTP Elektronik Miryam S. Haryani.
Misbakhun meminta Komisi III DPR untuk mempertimbangkan tidak membahas anggaran KPK dan Polri karena kedua institusi itu tidak mau membantu Pansus KPK mendatangkan Miryam dalam rapat Pansus.
Menurut dia, dasar hukum Pansus memanggil Miryam adalah UU MD3, seperti melakukan pemanggilan pertama, kedua, dan ketiga, yaitu panggilan paksa "Dalam hal ini ketika DPR ingin menggunakan haknya dengan melibatkan pihak kepolisian, lalu kepolisian masih memberikan tafsir-tafsir yang berbeda, tentunya DPR akan menggunakan hak-hak yang dipunyai DPR melakukan pembahasan anggaran," ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa penggunaan alat negara ini sudah ada dudukannya dalam UU MD3, lalu kalau kepolisian menyangkal, tidak dalam proses pro justitia dalam kaitan memanggil paksa.
Reaksi Polri dan KPK Atas permintaan Pansus DPR RI kepada Polri untuk menghadirkan secara paksa Miryam S. Haryani, Kapolri menolak hal tersebut.
Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian menolak untuk menjalankan perintah Pansus Hak Angket KPK yang menginginkan Polri membawa Miryam S. Haryani yang merupakan tersangka dalam kasus dugaan pemberian keterangan palsu pada sidang kasus korupsi KTP elektronik dari Rutan KPK ke DPR.
Sesuai dengan peraturan dalam KUHP, upaya paksa penangkapan hanya bisa dilakukan untuk keperluan peradilan, katanya di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, Selasa malam.
"Acara selama ini di Polri adalah acara KUHP, KUHP itu upaya paksa penangkapan, apalagi penyanderaan, penyanderaan sama saja dengan penahanan itu acaranya harus pro justitia dalam artinya dalam rangka untuk peradilan," kata Tito.
Menurutnya permintaan DPR untuk menghadirkan Miryam tidak jelas tercantum dalam UU MD3.
"Acara MD3 itu tidak jelas bentuknya apakah surat perintah penangkapan atau apa? Apa surat perintah membawa paksa atau apa? Kalau penyanderaan apakah ada surat perintah penyanderaan. Nah, ini yang belum jelas karena dalam bahasa hukum kami tidak ada," paparnya.
Ia menyatakan akan membahas aspek hukum terkait dengan permintaan tersebut dengan Komisi III DPR RI. Selain itu, pihaknya juga berencana meminta interpretasi dari Mahkamah Agung.
"Nanti ada tim yang dipimpin Pak Wakapolri akan konsultasi hukum dengan Komisi III apakah ada interpretasi hukum. Kalau nanti ada kesepakatan, nanti akan kami lihat apakah solusinya, kalau tidak ada kesepakatan, saya pikir nanti akan meminta fatwa kepada instansi yang berwenang untuk menginterprestasikan hukum itu, di antaranya Mahkamah Agung," ujarnya.
Sementara itu, Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menyatakan pelaku kasus korupsi paling diuntungkan jika DPR mempertimbangkan tidak membahas anggaran KPK tahun 2018.
"Kalau anggaran KPK dibekukan atau dipotong sehingga kemudian membuat KPK menjadi tidak maksimal bekerja, tentu saja yang paling diuntungkan adalah para pelaku korupsi itu sendiri," kata Febri di Gedung KPK RI, Jakarta, Rabu.
Menurut dia, sama saja jika anggaran kepolisian dibekukan atau dipotong akan ada risiko-risiko yang lebih besar di seluruh Indonesia, misalnya terkait dengan tugas pemberantasan terorisme dan kasus-kasus tindak pidana yang lain.
"Oleh karena itu, memang sebaiknya dipertimbangkan matang-matang karena kami sedang serius bersama-sama melakukan penegakan hukum dan saya rasa masyarakat yang akan dirugikan jika hukum itu berhenti bekerja atau menjadi lebih lambat kerjanya," ucap Febri.
Namun, kata dia, KPK berharap DPR secara kelembagaan tetap akan fokus pada penguatan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Akhiri Polemik Berbagai kalangan bahkan internal pansus itu sendiri mengharapkan polemik terkait dengan anggaran itu segera diakhiri.
Wakil Ketua Panitia Khusus Hak Angket KPK Risa Mariska mengatakan bahwa saat ini belum ada pembahasan di internal Pansus mengenai usulan membekukan anggaran KPK dan Kepolisian karena masih harus dibicarakan terlebih dahulu.
Terkait dengan usulan pembekuan anggaran KPK dan Polri, menurut dia, harus dibicarakan serta dibahas dalam rapat di Komisi III DPR yang menjadi mitra kerja kedua institusi tersebut.
Menurut dia berkaitan dengan anggaran mitra kerja Komisi III DPR itu maka harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan fraksi-fraksi.
"Karena berkaitan dengan anggaran mitra kerja di Komisi III DPR, saya harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan fraksi," ujarnya.
Politikus PDI Perjuangan itu berpendapat bahwa memungkinkan atau tidak pembekuan anggaran itu tergantung pada rapat internal Komisi III DPR karena masih harus dibahas dalam rapat lebih dahulu.
Sementara itu, menurut dia, masing-masing fraksi pasti memiliki pandangan yang harus disampaikan di rapat Komisi III DPR.
Anggota Fraksi Partai Nasional Demokrat DPR RI Ahmad M. Ali menegaskan bahwa Panitia Khusus Hak Angket KPK, termasuk pemanggilan Miryam S. Haryani, bukan bertujuan membenturkan lembaga penegak hukum.
Secara khusus Ali mengatakan bahwa Fraksi NasDem sejak awal ikut mengusulkan Pansus Hak Angket KPK. Namun, bukan untuk membenturkan tugas dan kewenangan antarlembaga.
Ali menuturkan bahwa KPK dan Polri sebagai alat negara harus melaksanakan perintah undang-undang untuk menghadirkan Miryam S. Haryani pada pembahasan Pansus Hak Angket KPK.
Ia menjelaskan bahwa Pasal 204 dan Pasal 205 UU MD3 menyebutkan Pansus Hak Angket dapat memanggil warga negara dan meminta pejabat pemerintah serta badan hukum atau masyarakat untuk memberikan keterangan.
Menurut Ali, Pansus Hak Angket KPK yang meminta Polri menghadirkan Miryam, bahkan kepolisian berwenang "menyandera" pihak yang menolak pemanggilan.
Namun, Ali menyatakan bahwa isu pembekuan anggaran KPK dan Polri tidak bisa dilakukan karena alasan penolakan menjemput paksa Maryam, mengingat Pansus tidak dapat mencampuri Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Ali menegaskan bahwa Fraksi NasDem akan mundur dari Pansus Hak Angket KPK jika terjadi pembekuan anggaran KPK dan Polri.
Pansus sendiri akan fokus pada agenda mereka untuk mempelajari tata kelola anggaran di KPK.
Panitia Khusus Hak Angket KPK menyepakati agenda rapat Pansus akan dimulai dari tata kelola anggaran di KPK, termasuk pendalaman soal laporan temuan Badan Pemeriksa Keuangan terkait dengan tujuh pelanggaran pengelolaan anggaran KPK pada tahun 2015.
"Tadi coba diidentifikasi dan jadi kewajiban masing anggota Pansus Angket KPK mendalaminya lebih jauh dengan meminta mempelajari semua hasil audit, audit keuangan, audit kinerja, dan sebagainya yang dilaksanakan BPK terhadap KPK selama beberapa tahun terakhir ini," kata anggota Pansus Angket Arsul Sani pekan lalu.
Arsul mengemukakan alasan masalah tata kelola anggaran menjadi agenda pembahasan pertama karena kesiapan laporan dan informasi terkait dengan anggaran jauh lebih siap.
Ia menjelaskan bahwa kesiapan bahan dan informasi mengenai anggaran KPK lebih matang karena Pansus tidak ingin memunculkan keributan ketika apa yang dibahasnya masih bahan mentah.
"Terkait dengan tata kelola anggaran dari sisi kesiapan bahan dan informasi itu lebih matang sehingga pertama dibahas. Kalau mentah, nanti menjadi keributan lagi dan ramai lagi," terangnya.
Politikus PPP itu mengatakan bahwa Pansus Angket telah menjadwalkan pemanggilan BPK untuk mendengarkan penjelasan auditor terkait dengan laporan hasil pemeriksaan terhadap KPK pada tahun 2015.
Selain BPK, menurut Arsul, Pansus Angket juga akan secara paralel memanggil Miryam dan para pakar hukum tata negara serta ahli hukum pidana pada masa sidang ini.
"Dalam Rapat Pansus, juga dijadwalkan soal kehadiran Miryam kami jadwalkan kembali. Akan tetapi, juga dilaksanakan dalam sisa masa sidang ini bersamaan dengan mendengarkan penjelasan dari auditor BPK yang mengaudit KPK selama ini," katanya.
Ia juga mengatakan bahwa Pansus sedang mempertimbangkan mengundang pakar hukum tata negara dan hukum administrasi negara yang memiliki pandangan berbeda terkait dengan masalah pembentukan Pansus Hak Angket KPK.
Menurut dia, pandangan 120 akademisi yang disampaikan beberapa waktu lalu tetap dihormati sebagai tafsir atas kebenaran. Akan tetapi, dirinya melihat itu bukan satu-satunya pendapat, pemahaman, dan juga bukan sebuah kebenaran.
Masyarakat tentunya menunggu kesungguhan Pansus untuk menangani masalah ini dan tidak terjebak kepentingan lain selain kepentingan masyarakat. (Antara)
Ruwet, Pemanggilan Miryam ke Pansus dan Wacana Pembekuan Anggaran
Ruben Setiawan Suara.Com
Senin, 26 Juni 2017 | 09:14 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Diklaim Demi Wong Cilik, Pemerintah Diminta Lindungi Industri Tembakau Lewat PP Kesehatan
19 Desember 2024 | 20:53 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI