Suara.com - Ada banyak kisah yang tersimpan pada selembar kartu lebaran. Cinta pertama, asmara buta, penghormatan, pun kerinduan tertuang dalam lembaran tersebut. Tapi, begitulah waktu. Ia menelan seluruh masa dan romansa. Kini, riwayat kartu lebaran berada di tubir masa senjakalanya.
Gedung Pos Ibu Kota Jakarta, Pasar Baru, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, tampak biasa-biasa saja pada lima hari sebelum Idul Fitri 2017, Selasa (20/6).
Dekat pintu masuk gedung itu, kartu warna warni berjejer di sudut lapak meja kayu. Lapak itu milik Pipit Amalia dan suami. Dia masih setia menjual kartu ucapan selamat Lebaran, meski tidak banyak.
Baca Juga: Alexis Ngotot Ingin Reuni dengan Guardiola di Man City
"Sudah tak banyak yang beli kartu Lebaran," ujar Pipit kepada Suara.com.
Tak ada gambar yang menunjukkan edisi terbaru pada kartu-kartu Lebaran yang dijual Pipit. Ribuan kartu yang dijual Pipit terbilang lama, yakni era 1990-an. Kartu edisi paling baru yang dijualnya adalah cetakan tahun 2000.
Ia lantas mengenang masa-masa keemasan kartu lebaran, ketika dirinya bisa “panen” keuntungan jelang Idul Fitri, yakni era 90-an.
"Dulu, tahun 1990-an, di emperan kantor pos sini, banyak yang beli. Setelah muncul ponsel (telepon seluler) makin berkurang penjualan kartu lebaran," tutur Pipit, yang meneruskan usaha musiman dari orang tua.
Segendang sepenarian, Mimi (65), pedagang kartu Lebaran di samping Gedung Kesenian Jakarta, juga merasakan hal yang sama dengan Pipit.
Baca Juga: Kesal, Pelatih Klub Spanyol Seruduk Pemainnya Sendiri