Pemanggilan orang oleh Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket padahal orang tersebut sedang diproses dalam penyelidikan dan penyidikan di KPK berpotensi menghalang-halangi penyidikan tindak pidana korupsi.
"Kami sudah mengirim surat, KPK beranggapan ini adalah menyangkut tentang penyelidikan kasus. Jadi ada potensi 'obstruction of justice' atau menghalangi penuntasan kasus," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Jakarta, Senin (19/6/2017) malam.
Hal itu terkait dengan pemanggilan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Gerindra Miryam S Haryani dalam rapat Pansus pada Senin. KPK tidak menghadirkan Miryam yang saat ini dalam penahanan KPK karena menjadi tersangka kasus memberikan keterangan yang tidak benar pada persidangan perkara KTP-Elektronik.
Baca Juga: KPK Pastikan Miryam S Haryani Tak Hadiri Rapat Angket DPR
Menurut pasal 21 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor),"Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara Langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta".
"Kami juga menanyakan yang mau diangket KPK itu apa? Objek angket itu harus jelas, spesifik, apakah tentang penanganan kasus saja? Kami kan cuma dengar di media, mereka katanya angket sebagai bagian dari pengawasan, tapi pengawasan yang mana? Pencegahan, koordinasi, supervisi, monitoring atau penindakan? Mereka mana yang mau diangket? Semua atau salah satu? Tidak jelas, dokumen angketnya sendiri bahkan surat pemanggilan Miryam itu ditandatangani bukan oleh ketua pansus tapi oleh wakil ketua DPR," jelas Laode.
Tidak bisa dipenuhi Sementara itu, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian juga mengatakan bahwa permintaan DPR untuk meminta bantuan Polri untuk menghadirkan Miryam ke rapat pansus tidak bisa dipenuhi karena sudah masuk dalam ranah pro justicia.
"Kami sudah mengkaji di internal soal permintaan kepada Polri untuk menghadirkan orang yang dipanggil DPR, meski UU MD3 memberi kewenangan pada DPR untuk meminta bantuan polisi untuk menghadirkan paksa orang yang dipanggil, persoalannya kami lihat hukum acara dalam uu itu tidak jelas. Di KUHAP, menghadirkan paksa sama dengan melakukan perintah membawa atau penangkapan. Penangkapan dan Penahanan dilakukan pro justicia untuk peradilan sehingga terjadi kerancuan hukum," kata Tito.
Menurut Tito, Polri tidak bisa menghadirkan paksa Miryam karena ada hambatan hukum yaitu hukum acara tidak jelas. Upaya paksa kepolisian selalu dalam koridor pro justicia.
Baca Juga: Polri Tolak Beri Bantuan Pansus KPK Berkukuh Jalan Terus
"Silakan ahli hukum memberikan pendapat. Mungkin juga dari DPR bisa meminta fatwa dari MA agar lebih jelas, yang jelas polisi menganggap hukum acara tidak jelas, (menghadirkan Miryam) itu sudah termasuk upaya paksa, upaya paksa kepolisian selalu dalam koridor pro justicia," tegas Tito.