Menjalankan ibadah di bulan Ramadan tanpa hambatan sangat dirindukan jamaah Ahmadiyah. Juru bicara Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia Yendra Budiana menyebutkan sejumlah daerah di Indonesia yang tingkat gangguannya paling terasa.
"Paling ramai itu tentu saja di Jawa Barat. Di Depok, di Kersamaju itu di perbatasan Tasik-Garut. Kemudian di Banjar dekat Ciamis. Itu kalau dalam kesulitan melakukan ibadah di bulan Ramadan," kata Yendra di Ashley Hotel, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (19/6/2017).
Yendra mengungkapkan kasus perlakuan diskriminatif terbanyak di Provinsi Jawa Barat.
Yendra mengatakan pelakunya merupakan kelompok intoleran dan ada indikasi didukung pemerintah lokal. Yendra mengatakan sebenarnya jemaat dengan masyarakat sekitar bisa hidup berdampingan dan saling menghargai keyakinan masing-masing.
"Bahkan mereka ini berkompromi dengan pemerintah-pemerinh lokal. Sehingga kelompok intolerannya tidak terlalu terlihat pada ya saat tertentu, misalnya saat penyegelan (masjid) di Depok, itu kan ada demo dulu," tutur Yendra.
Yendra menyebut kelompok yang sudah teridentifikasi melakukan penekanan pada Ahmadiyah yaitu Front Pembela Islam. Sebelum demonstrasi yang berujung penyegelan Masjid Al Hidayah Depok, FPI diduga telah berkonsolidasi dengan pemerintah lokal.
"Depok kan dari dulu, FPI kelompok paling kuat. Saat aksi ke Jakarta itu misalnya mengambil basis FPI di Depok. Tapi kalau kita lihat dari mobil-mobil yang dipakai itu Jawa Barat. Bukan Depok sendiri," ujar Yendra.
Di Jawa Barat, tercatat sekitar 20 masjid milik Ahmadiyah yang sekarang sudah tidak bisa dipakai karena disegel pemerintah daerah.
Yendra berharap pemerintah daerah membuka ruang dialog antara Ahmadiyah dan kelompok-kelompok yang tidak mengharapkan kehadiran Ahmadiyah.
"Seperti Nawa Cita Presiden Joko Widodo, dimana negara hadir dan membuka ruang dialog. Itu yang belum kami rasakan. Negara hadir membuka ruang dialog. Karena itu seyogyanya harus dibuka agar hambatan komunikasi itu bisa cair," ucap Yendra.
Menurut dia, pada dasarnya, antara Ahmadiyah dan masyarakat tidak ada persoalan yang krusial. Hanya persoalan persepsi saja.
"Tapi masyarakat secara umum, mereka lebih takut kalau distigma oleh tokoh-tokohnya. Mereka takut dianggap pro Ahmadiyah. Takut dianggap aqidahnya dianggap terganggu oleh orang lain. Dirinya sendiri tidak merasakan apa-apa," kata Yendra.
"Paling ramai itu tentu saja di Jawa Barat. Di Depok, di Kersamaju itu di perbatasan Tasik-Garut. Kemudian di Banjar dekat Ciamis. Itu kalau dalam kesulitan melakukan ibadah di bulan Ramadan," kata Yendra di Ashley Hotel, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (19/6/2017).
Yendra mengungkapkan kasus perlakuan diskriminatif terbanyak di Provinsi Jawa Barat.
Yendra mengatakan pelakunya merupakan kelompok intoleran dan ada indikasi didukung pemerintah lokal. Yendra mengatakan sebenarnya jemaat dengan masyarakat sekitar bisa hidup berdampingan dan saling menghargai keyakinan masing-masing.
"Bahkan mereka ini berkompromi dengan pemerintah-pemerinh lokal. Sehingga kelompok intolerannya tidak terlalu terlihat pada ya saat tertentu, misalnya saat penyegelan (masjid) di Depok, itu kan ada demo dulu," tutur Yendra.
Yendra menyebut kelompok yang sudah teridentifikasi melakukan penekanan pada Ahmadiyah yaitu Front Pembela Islam. Sebelum demonstrasi yang berujung penyegelan Masjid Al Hidayah Depok, FPI diduga telah berkonsolidasi dengan pemerintah lokal.
"Depok kan dari dulu, FPI kelompok paling kuat. Saat aksi ke Jakarta itu misalnya mengambil basis FPI di Depok. Tapi kalau kita lihat dari mobil-mobil yang dipakai itu Jawa Barat. Bukan Depok sendiri," ujar Yendra.
Di Jawa Barat, tercatat sekitar 20 masjid milik Ahmadiyah yang sekarang sudah tidak bisa dipakai karena disegel pemerintah daerah.
Yendra berharap pemerintah daerah membuka ruang dialog antara Ahmadiyah dan kelompok-kelompok yang tidak mengharapkan kehadiran Ahmadiyah.
"Seperti Nawa Cita Presiden Joko Widodo, dimana negara hadir dan membuka ruang dialog. Itu yang belum kami rasakan. Negara hadir membuka ruang dialog. Karena itu seyogyanya harus dibuka agar hambatan komunikasi itu bisa cair," ucap Yendra.
Menurut dia, pada dasarnya, antara Ahmadiyah dan masyarakat tidak ada persoalan yang krusial. Hanya persoalan persepsi saja.
"Tapi masyarakat secara umum, mereka lebih takut kalau distigma oleh tokoh-tokohnya. Mereka takut dianggap pro Ahmadiyah. Takut dianggap aqidahnya dianggap terganggu oleh orang lain. Dirinya sendiri tidak merasakan apa-apa," kata Yendra.