Suara.com - Menarik nafas panjang sembari sesekali memegang bagian ulu hati dada bawah, nada bicara terbata, Mardiah membuka beberapa lembar kertas kecoklatan yang bertuliskan huruf sambung hitam. Tangan kirinya memegang foto seorang lelaki berbadan kurus dan berambut pendek.
Lelaki itu adalah Muhammad Yamin, anak keduanya yang meninggal di usia 25 tahun di tahun 2001 karena kanker paru-paru dan penyakit komplikasi. Saat dirongen, paru-paru Yamin berwarna hitam dan terdapat flek.
“Kata dokter, ini karena rokok. Paru-parunya saya lihat sendiri, bolong, hitam dan ada flek. Sayang, hasil rongennya hilang,” kata Mardiah dengan mata berkaca.
Yamin sudah menjadi perokok pasif sejak usia 2 tahun. Kemudian, saat duduk di bangku SMP menjadi perokok aktif, sampai meninggal di usia 25 tahun. Suami Mardiah, Sugimin Tardi adalah perokok berat.
Dari tahun 1970-an, Mardiah hidup dengan Sugimin. Dalam sehari rata-rata Sugimin menghabisi 5 bungkus rokok. Harga rokok di tahun 1980-an sekitar Rp750 perbungkus. Saat itu Sugimin bekerja di sebuah perusahaan otomotif bergaji Rp250 ribu perbulan. Sugimin sudah meninggal 10 tahun lalu karena kanker paru-paru dan jantung.
“Waktu itu sehari rokok Minak Djinggo, bisa habis 5 bungkus lebih. Satunya harganya sebungkus saya lupa. Tapi tahun 1990, saya ingat Rp1.500 perbungkus. Rokoknya campur-campur, kadang Sam Soe (Dji Sam Soe) dan Gudang Garam,” kenang nenek 16 cucu itu.
“Kalau sudah di rumah dan ada anak-anak, ruangan ngebul seperti obat nyamuk,”lanjut anggota Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia (AMKRI) itu.
Nenek kelahiran 12 November 1955 itu mempunyai 5 anak; Surhayati Nur Hamidah, Muhammad Yamin, Tridian Alamanda, Purwaningsih, dan Peprizal. Ada 3 anaknya yang masih hidup, 2 perempuan dan seorang lelaki. Anak bontotnya,Peprizal juga perokok aktif berat dan masih hidup. Anak perempuannya perokok pasif.
Peprizal kini tinggal di Cirebon dan mempunyai masalah kesehatan di paru-paru.
“Badannya habis, giginya habis, dan jarang makan nasi. Rokok saja kalau lapar.”
“Kalau dia ke rumah dan merokok, langsung saya usir.”
Kini Mardiah tinggal sebuah rumah kontrakan berukuran kurang lebih 5x5 meter persegi di kawasan Parung, Kabupaten Bogor bersama lelaki tua yang menikahinya 5 tahun lalu. Kontrakannya di gang sempit berjarak 200 meter dari Pasar Parung. Hanya ada radio manual bersuara putus-putus yang menemaninya saban hari.
Mardiah tidak bisa banyak berjalan dia mengidap gangguan pernapasan.
Perempuan berkerudung itu mengenang masa-masa tinggal di Cilandak, Jakarta Selatan. Rumahnya tak sesempit saat ini. Dulu dia tinggal bersama 5 adiknya, seorang anak angkat, dan seorang sepupu, plus 5 anak kandungnya.
“Rumah selalu ramai, dan ngebul,” katanya seraya tertawa kecil. Kata dia, sebagian adik lelakinya merokok juga. “Kami keluarga rokok,” tambahnya.
Mardiah merasa dimiskinkan oleh rokok. Di usia senjanya, dia masih berhadapan dengan kesulitan biaya hidup. Mardiah berseloroh, seharusnya saat ini dia sudah mempunyai rumah sendiri dan punya berbagai bisnis yang dia rintis sejak usia remaja sampai suami pertamanya meninggal.
Kini hidup Mardiah ditopang dari penjualan kerupuk udang dan kerja serabutan.
“Kalau ada kerjaan apa saja, kasih tahu saya. Apa saja, asal dapat uang.”
Mardiah, mandiri sejak usia 12 tahun. Setelah menikah di tahun 1970-an, mulai membukan berbagai usaha mulai dari berjualan nasi uduk, jasa jahit, jasa rias pengantin dan salon, sampai berdagang berbagai macam barang sudah dilakoni. Itu dia lakukan karena penghasilan mendiang suami pertamanya tidak cukup untuk menghidupi 5 anaknya.
“Di atas kertas, kalau dia nggak merokok. Pasti cukup,” jelasnya.
Sejak awal menikah, uang di rumah tangganya mengalir seperti air. Tahun 1980-an, Sugimin bekerja di perusahaan otomotif Astra dan bergaji Rp250 ribu sebulan. Sekira Rp100 ribu habis untuk membeli rokok dalam sebulan. Sempat menganggur sekitar 5 tahun, Sugimin bekerja sebagai penjaga keamanan atau satpam di salah satu Apotek di Bintaro, gajinya tidak jauh beda tapi harga rokok saat itu terus naik.
“Dihitung, yah hampir setengah untuk beli rokok saja. Buat belanja sehari-hari bagaimana? Anak sekolah? Jajan anak? Kadang sampai 7 bungkus sehari. Dua anak (lelaki) saya juga merokok, mintanya sama siapa?” tanya dia dengan wajah menegang.
Mulai awal tahun 1990-an, Sugimin sakit-sakitan. Dia memilih tidak bekerja tetap di perusahaan, tapi memilih serabutan. Alasannya, dia berulang kali masuk rumah sakit karena keluhan pernapasan. Nafasnya sesak kalau berjalan lebih dari 1 jam.
“Saya bolak balik ke rumah sakit. Ada saja sakitnya, mulai dari sesak nafas, demam tinggi sampai keluhan pusing dan masalah pencernaan,” paparnya.
Begitu juga anak keduanya, Muhammad Yamin yang sempat lama masuk rumah sakit di akhir tahun 90-an. Yamin menderita penyakit paru-paru dan dirawat 10 hari di Rumah Sakit Fatmawati. Paru-parunya menghitam, terdapat lubang-lubang kecil dan flek.
“Kata dokter, paru-parunya tertutup asap rokok sampai harus dikasih nafas bantuan dan infus. Setelah membaik, dia merokok lagi. Sampai setahun kemudian meninggal karena penyakit yang sama,” keluhnya.
Mardiah tidak ingat pasti jumlah uang yang dia keluarkan untuk pengobatan Yamin. Dia hanya ingat, tabungannya hasil berdagang selama 5 tahun terakhir terkuras. Begitu anaknya meninggal, Mardiah memeriksakan diri ke dokter karena keluhan sesak nafas. Hasilnya, paru-paru Mardiah berwarna hitam sama seperti milik mendiang Yamin.
“Saya ditanya, apakah suami merokok? Saya jawab, iya. Ternyata saya sudah diracuni asap rokok.”
Sejak itu, Mardiah rutin menjalani berbagai macam terapi anti-nikotin. Sementara suaminya tetap merokok, sampai harus bolak balik rumah sakit 2 tahun sebelum meninggal di tahun 2007.
Usahanya saat itu gulung tikar karena kehabisan modal. Keuntungan dari beberapa usahanya terpakai untuk membayar rumah sakit dan pengobatan. Di tambah, Mardiah tidak bisa bekerja terlampau lama karena tak kuat bernafas panjang dan mudah lelah. Dia memutuskan menjual rumah warisan keluarga di Cilandak. Sebagian uang itu untuk modal usaha baru dan biaya pengobatan suami pertamanya sebelum meninggal.
“Sekarang sudah hampir 2 bulan nggak minum obat dan ke dokter, nggak ada uang. Paling saya meminum ramuan buatan sendiri biar nafasnya plong. Ramuan itu campuran babakan jamblang, daun suji, daun ciplukan, dan daun diabet. Semua dimasak pakai air, diminum. Selain itu banyak jalan saja biar segar,” paparnya.
Kisah serupa juga ada di 40 kilometer ke arah utara dari Parung, Bogor. Di Cipinang Besar, Jakarta Timur ada Pertiwi Ayu. Bedanya, Ayu luput dari dampak buruk rokok di rumah tangga.
Ibu 3 anak ini sempat hidup kesulitan saat suaminya, Joko Sundoko merokok sampai 6 bungkus sehari. Koko, sapaan suami Ayu, menghabiskan gajinya Rp1,8 juta saban bulan. Hanya Rp1,7 juta dia sisakan untuk biaya makan dan biaya rumah tangga lainnya. Sementara Koko yang merupakan petugas keamanan itu merupakan tulang punggung keluarga.
Tujuh tahun lalu hal tersulit dalam hidup Ayu dan Koko setelah melahirkan putra kembar, Danang Djoyo Romansasi dan Arjuno Romansasi. Biaya hidup mereka membengkak setelah dua hatinya lahir. Sisa gaji Koko tidak cukup untuk makan sehari-hari dan membayar berbagai tagihan tetap seperti listrik dan sewa kontrakan.
“Berasa banget. Apalagi kalau nggak ada uang dan bulan lagi susah. Sering kami hadapi itu. Gajinya dulu Rp1 juta sebulan, dan rokok lagi berat-beratnya. Sekarang gaji suami ikuti UMR (upah minimum regional),” kata Ayu.
Banyak keinginan yang mau tak mau ditanggalkan. Sejak awal menikah tahun 2006, keluarganya tidak terbeli TV sebagai hiburan sehari-hari.
“Duitnya terpakai untuk beli rokok, yah nggak terbeli. Nggak bisa punya rumah, ingin punya TV saja susah banget,” cerita perempuan 30-an tahun itu.
Perhitungan Ayu saban bulan harus tepat, terlebih 3 tahun kemudian dia kembali mempunyai anak, Laskar Gama Prakasa. Susu dan makan anak-anak tidak boleh terlewat, namun sulit dilakukan. Ayu pun harus kerja serabutan untuk menambal kekurangan biaya rumah tangga. “Saya freelance apa saja. Bantu-bantu teman juga.”
Mengetahui keadaan keluarganya ‘serba mepet’, Koko sadar diri. Bertahap, Koko mengurangi konsumsi rokok dengan alasan utama beban hidup dan kesehatan. Selama 2 tahun terakhir, Koko mengurangi merokok dari 5 bungkus sampai sebungkus dalam sehari.
“Berat, karena sudah candu,” timpal Koko.
Empat bulan lalu, 50 meter dari rumah Ayu dan Koko. Kurang dari 10 lelaki tua dan paruh baya berkumpul malam itu. Asap rokok mengepul saat rapat RT 015 di Balai Warga selebar 3 langkah kaki itu. Asap sampai terlihat keluar dari pintu. Tidak semua dari lelaki itu merokok, ada juga yang menutup hidung mereka sembari menyeruput segelas kopi hitam dan gorengan.
Biasanya rapat hanya membahas seputar keuangan RT dan kerja bakti, kali ini tidak. Bahasannya agak serius setelah mendengar banyak keluhan warga sekitar soal rokok. Mereka ingin membuat kampungnya menjadi kawasan bersih, teratur dan tanpa asap rokok.
“Banyak ibu-ibu yang mengeluh suaminya merokok di dalam rumah. Bahkan kalau kami rapat RT, pasti di Balai Warga ini penuh dengan asap rokok,” kata Sekertaris RT 015/02 Kelurahan Cipinang Besar Selatan, Sumardi.
Kampung Penas tak jauh dari Jalan Mayjen Sutoyo, Jakarta Timur. Gedung bertingkat seperti Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menutupi kampung ini. Berada di Jalan Penas bantaran Kali Ciliwung, sebelumnya di sini kumuh. Pemandangan sampah rumah tangga yang terbawa air hitam pekat di kali sudah biasa. Bau busuknya, jangan ditanya.
Namun kini beda, Kampung Penas sudah jadi tempat tinggal yang manusiawi setahun terakhir. Warga memulai menata kampung menjadi ‘rumah layak’. Sudah 4 bulan terakhir Kampung Penas jadi kawasan tanpa asap rokok. Kaum bapak atau perokok dilarang mengepul di dalam rumah. Secara perlahan, kampung itu akan menjadi kawasan tanpa rokok sepenuhnya.
“Dari larangan di dalam rumah, di halaman rumah sampai larangan di dalam kampung,”cerita Sumardi.
Ada sejumlah alasan kampung yang diisi hampir 500 jiwa itu menerapkan KTR. Masalah kesehatan warga dan kemiskinan menjadi alasan utama. Selain itu warga ingin menata kampung yang terletak di pinggiran Sungai Ciliwung itu menjadi ramah lingkungan.
Pengendalian tembakau Kampung Penas sebagai kawasan tanpa rokok setali tiga uang dengan Framework Convention on Tobacco Control atau FCTC yang diinisiasi negara berkembang, seperti Indonesia.
Dokumen FCTC yang terdiri dari 11 bab dan 38 pasal itu mengatur pengendalian permintaan konsumsi rokok dan pengendalian pasokan rokok. Selain itu mengatur tentang paparan asap rokok orang lain, iklan promosi dan sponsor rokok, harga dan cukai rokok, kemasan dan pelabelan, kandungan produk tembakau, edukasi dan kesadaran publik, berhenti merokok, perdagangan illegal rokok hingga penjualan rokok pada anak di bawah umur.
Sayangnya, sampai 2 kali presiden berganti dari Megawati Soekarnoputri ke Susulo Bambang Yudhoyono, lalu ke Joko Wiwodo, Indonesia belum menandatangai dan mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau itu. Catatan Kementerian Kesehatan, Indonesia merugi karena itu. Selain menjadi target pasar tujuan utama industri rokok multi nasional, ini juga bisa merusak kesehatan generasi mendatang.
Pemborosan uang pun dirasakan oleh rata-rata ibu rumah tangga di Kampung Penas jika rokok tidak dikendalikan. Mereka mengeluh uang belanja rumah tangga terkuras lantaran suaminya merokok. Selain itu asap rokok mengganggu nafas. Asap rokok juga jadi masalah ketika warga berkumpul di balai pertemuan.
“Rata-rata penghasilan warga UMR sekitar Rp3 jutaan. Mereka berdagang. Di sisi lain, luas kampung ini tidak besar, hanya kurang dari 900 meter sepanjang Kali Ciliwung. Kalau ada 10 orang merokok saja, asapnya sudah seperti bakar sampah,” cerita Sumardi.
Sehingga rapat warga 4 bulan lalu membuat kesepakatan membatasi perokok.
Kebijakan itu didukung oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) anti-rokok, Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA). FAKTA meminta 6 warga Kampung Penas mengikuti pelatihan mengelola kawasan tanpa rokok (KTR) di Yogyakarta selama sepekan. Salah satu warga yang ikut, Koko.
Sepulangnya dari Yogya, Koko dan kelima warga menginisiasi pemugaran kampungnya. Mulai dari membersihkan halaman kampung, menambah pagar pembatas antara rumah warga dengan sungai sampai mewarnai tembok rumah warga. Dana pemugaran kampung didapat dari warga, ditambah dari dana bantuan FAKTA.
“Sekarang kampung warna warni dan menerapkan kawasan tanpa rokok,” jelas Sumardi.
Hanya saja kampung ini tidak sepenuhnya menjadi kawasan tanpa asap rokok, toko kelontong dan sembako di kawasan itu masih jual rokok. Salah satu pedagang, Eli mengaku masih menjual rokok dengan stok sedikit. Dia tidak memasalahkan jika nantinya rokok tidak laku di kampungnya.
“Paling banyak orang beli beras dan sembako. Jadi nggak pengaruh,” kata perempuan paruh baya itu.
Warga tidak dipaksa berhenti merokok, hanya mengendalikan perokok. Kampungnya pun akan memberikan kawasan khusus perokok di sudut jalan.
“Jadi bisa merokok di kampung ini, tapi hanya di satu sampai dua sudut saja. Tidak boleh merokok di sembarang tempat,” catat Sumardi.
Koko dan Ayu jadi potret keluarga anti-rokok di kampungnya. Setelah 2 tahun Koko berjuang berhenti merokok membuahkan hasil. Mereka mempunyai TV, motor dan mencicil keperluan rumah lainnya.
“Tuh hasilnya (menunjuk motor). TV juga sudah punya, dan ketiga anak jadi punya tambahan gizi. Anak-anak juga jadi sadar, rokok membakar uang,” kata Ayu.
Bangkrut, Biaya Kesehatan Membengkak karena Penyakit Rokok
Pada tahun 2011, Pusat kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia pernah meneliti soal beban ekonomi karena penyakit yang diakibatkan oleh rokok. Dalam kumpulan penelitian yang berjudul ‘Indonesia: The Heaven For Cigarette Companies and the Hell For People (Surga bagi Perusahaan Rokok dan Neraka Bagi Rakyat)’, dipaparkan jumlah duit yang ‘dibakar’ negara dan perorangan. Hasil penelitin itu ditulis oleh Guru Besar Ilmu Kesehatan UI, Profesor Hasbullah Thabrany. Penelitian ini bekerjasama dengan peneliti asal Cina.
Di tahun 2011, Indonesia mengkonsumsi sekitar 235 miliar batang rokok, sekitar 1.000 batang per orang, termasuk bayi dan orang tua, dalam setahun. Kurang dari setengah dari pendapatan cukai rokok dialokasikan untuk Kementerian Kesehatan, 3 miliar dolar Amerika Serikat. Di sisi lain Indonesia memiliki jumlah warga yang mati karena rokok terbesar di ASEAN.
Dalam survei nasional tahun 2016, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rokok memberikan sumbangan kedua terbesar terhadap garis kemiskinan di perkotaan setelah beras yaitu sebesar 10,70 persen. Garis kemiskinan ini diketahui dari nilai garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan non makanan (GKMN). Rokok masuk ke dalam salah satu dari 52 komoditi makanan yang dihasilkan dari survei sosial ekonomi nasional (susenas). Jumlah orang yang disurvei dalam susenas ini ada 1,2 juta orang di seluruh Indonesia.
Garis kemiskinan makanan ini merupakan nilai rupiah yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan energi minimal 2100 kilo kalori per kapita per hari. Nilai rupiah dari 2100 kalori makanan diperoleh dari 52 komoditi makanan.
Kepala Subdit Statistik Kesehatan dan Perumahan BPS, Mariet Tetty Nuryetty mengatakan Indonesia menjadi pasar potensial untuk industri rokok. Data September 2016, jumlah penduduk Indonesia mencapai 258,7 juta orang yang terdiri dari 129,9 juta lelaki dan 128,7 juta perempuan.
Hasil survei BPS sepanjang 2016, perokok aktif Indonesia dimulai dari usia 5 tahun sampai 15 tahun. Jumlahnya 23 persen dari jumlah penduduk di usia itu, dan rata-rata menghabiskan 11 batang rokok sehari. Sementara perokok paling banyak di usia produktif antara 25-35 tahun sebayak 33 persen. Di lihat dari jenis kelamin, lelaki paling banyak merokok dari pada perempuan.
Rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap setiap hari oleh penduduk usia 15 tahun ke atas yang merokok di perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan. Di desa rata-rata perhari 12 batang, dan di kota 11 batang.
“Jadi target konsumen rokok ini lah yang potensial untuk industri rokok,” papar dia.
Kondisi yang sama juga terjadi di Bangladesh, kawasan Asia Barat. Penduduk Bangladesh kebanyakan miskin, dan mereka belum bisa memenuhi kebutuhan pokok dasar seperti makan. Tapi meski tingkat kemiskinannya tinggi di Bangladesh tingkat merokok relatif tinggi.
PATH Canada dan London School of Hygiene and Tropical Medicine, London mengukur hubungan antar konsumsi rokok, daya beli bahan pokok dan kemiskinan. Penelitian itu sudah diterbitkan dalam jurnal ilmian BMJ Journals dengan judul ‘Hungry for tobacco: an analysis of the economic impact of tobacco consumption on the poor in Bangladesh’.
Penelitian yang dilakukan 10 peneliti itu ditemukan sebanyak 10,48 juta perokok miskin di sana. Dari sampel 32 ribu rumah tangga, rata-rata penghasilan rumah tangga Bangladesh 40 dolar Amerika Serikat perbulan. Sebesar 40 persen dari pendapatan itu untuk dibelikan rokok. Ini menyebabkan anak-anak dalam keluarga perokok dalam kesulitan membeli bahan pokok. Keturunan mereka kekuarangan gizi.
Di Vietnam, rokok disebut sebagai ‘penguras’ sumber daya keuangan. Sejak tahun 90-an rokok menjadi populer di sana. Tahun 1998 saja jumlah rokok yang dikonsumsi rakyat Vietnam 2.34 miliar batang. Total duit yang dibelanjakan untuk rokok itu 435,6 juta dolar AS pertahun, atau setara harga 1,6 juta ton beras dan cukup untuk memberi makan 10,6 juta orang selama satu tahun.
Data ini hasil penelitian 6 ilmuan dari Bangladeh, Vietnam dan Kanada. Penelitian ini dibiayai Health Bridge Foundation dengan judul ‘Tobacco and poverty: evidence from Vietnam’ dan diterbitkan dalam jurnal ilmian BMJ Journals.
Penelitian ini mengevaluasi dampak ekonomi tembakau terhadap pengeluaran untuk rumah tangga miskin. Dalam data Survei Standar Hidup Vietnam (VLSS), rata-rata orang Vietnam menghabiskan 5,3 persen dari jumlah belanja kebutuhan pokok mereka untuk rokok. Persentase ini setara dengan pemenuhan kebutuhan 850 kalori dari nasi atau makanan sejenis sehari-hari.
Masih dalam hasil penelitian itu, dari Survei Sosioekonomi Nasional (NSES) dan Survei Kesehatan Nasional (NHS) menunjukkan prevalensi perokok di antara laki-laki pada usia di atas 15 tahun meningkat dari 53,4 persen di tahun 1995 menjadi 65,9 persen di 2010. Begitu juga perokok di kalangan perempuan sampai 4,2 persen di tahun yang sama.
Meningkatnya prevalensi perokok akan menghasilkan dampak ekonomi yang lebih besar di masa depan. Dampaknya tidak hanya karena meningkatnya biaya langsung untuk pengobatan penyakit terkait rokok, tetapi juga disebabkan oleh meroketnya biaya tidak langsung, termasuk peluang yang hilang akibat kematian dini.
Penelitian itu mewawancarai 590 pasien di 6 rumah sakit umum. Rata-rata pasien harus mengeluarkan uang untuk rawat inap Rp 11.815.860 pertahun. Sementara biaya rawat inap lelaki Rp14.164.169 dan Rp7.978.889 untuk perempuan. Biaya rawat inap rata-rata tertinggi untuk laki-laki adalah untuk penyakit kardiovaskular, sedangkan untuk perempuan adalah untuk kanker.
Dalam studi ini menemukan bahwa Indonesia kehilangan biaya perawatan medis senilai Rp3,76 Triliun hanya dari penyakit terkait tembakau.
Pertengahan Mei lalu pada pembukaan Indonesian Conference on Tobacco or Health di Balai Kartini Jakarta, Menteri Kesehatan Nila Moeloek memberikan data yang mencengangkan bahwa 36,3 persen dari jumlah penduduk Indonesia adalah perokok. Sekitar 20 persenya adalah perokok remaja. Sementara ada 235 ribu orang meninggal setahun karena rokok.
Kencana Indrishwari, pendiri Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia (AMKRI), menegaskan bahaya rokok itu nyata, bukan mitos. AMKRI adalah perkumpulan penyintas kanker pita suara maupun keluarga dari korban rokok. Perkumpulan ini dibentuk sejak 22 Oktober 2012. Rata-rata dari mereka dalam keadaan sakit karena sebagai perokok aktif dan pasif. Anggotanya tersebar dari berbagai daerah, mulai dari kalangan bawah sampai atas, terpelajar dan terdidik, dan perempuan serta lelaki.
“Tapi kebanyakan perempuan, dan keluarga tak mampu yang uangnya habis untuk berobat,”kata dia.
Kencana yang kini berusia 70 tahun menderita penyakit komplikasi akibat asap rokok. Dia terpapar asap rokok di lingkungan kerjanya dahulu. Kencana tidak tahu persis berapa jumlah korban rokok di bawah AMKRI. Saat ini kebanyakan anggotanya adalah perokok pasif dan keluarga korban rokok.
“Ujung dari rokok ini sebenarnya ke keluarga. Istri yang tidak merokok akan dibebani langsung. Mulai dari terpotongnya uang belanja keluarga sampai biaya mengobati suaminya yang pecandu rokok,” kata dia.
Kencana mengatakan perempuan merupakan pihak yang terdekat sebagai korban rokok. Budaya patriaki yang menempatkan perempuan sebagai kelas dua menambah berat posisi sebagai korban. Dia menyebut perempuan sebagai korban ganda.
Sebagai korban, Kencana cs menginginkan peredaran rokok harus dibatasi. “Jika bisa jangan ada peredaran rokok, karena benda itu sangat jahat,” kata dia.
Paling dekat, menurutnya pemerintah harus menolak rancanangan Undang-Undang Pengendalian Tembakau karena bertentangan dengan upaya peningkatan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Menurut dia, tujuan RUU itu seharusnya menjauhkan rokok dari jangkauan masyarakat.
“Yang sekarang ini kan memberikan angin sengar ke produsen,” kata Kencana.
Paling tidak RUU Pengendalian Tembakau itu harus melarang total iklan, promosi, dan pemberian sponsor oleh industri rokok. Selain itu menambah pajak, cukai rokok, batas atas tarif cukai rokok. Sehingga harga rokok menjadi tidak terjangkau.
“Kalau bisa lagi, jangan ada itu rokok. Titik,” tandasnya.
Klinik Berhenti Merokok
Sudah 20 tahun lebih Klinik Berhenti merokok di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Timur beroperasi. Ratusan orang berhasil 'tobat' dari bahaya rokok. Meski begitu, perjalanan klinik itu 'kembang kempis' mengikuti kesadaran untuk berhenti merokok.
Klinik yang terletak di Griya Puspa di lantai dua Rumah Sakit Persahabatan itu beroperasi tahun 1990. Tapi sempat berhenti beroperasi. Pada 7 November 2008, klinik itu kembali diaktifkan dengan lebih serius.
Tim khusus dibentuk oleh RS Persahabatan, mulai dari dokter spesialis sampai alat terapinya. Dokter spesialis yang tergabung tidak main-main, mulai dari spesialis paru-aru sampai spesialis kejiwaan.
Dalam pengobatannya klinik ini memberikan 3 jenis layanan. Di antaranya konseling, hipnoterapi, dan bantuan obat. Klinik menargetkan 3 bulan, korban sudah bisa lepas dari pengaruh rokok. Sebelum memulai proses penyembuhan dari ketergantungan, pasien harus menandatangani surat perjanjian. Isi perjanjian itu intinya komitmen melakukan terapi sampai sembuh.
Salah satu dokter di klinik tersebut yang juga dokter spesialis paru, Feni Fitriani Taufik. Dia mengatakan bahwa efek candu yang dialami para perokok disebabkan oleh kandungan nikotin dalam rokok. Kandungan inilah yang menurutnya bertanggung jawab atas segala keluhan yang dirasakan seseorang saat mencoba melepaskan diri dari rokok.
"Nikotin sama kayak narkoba adiksinya. Bisa membuat orang jadi 'hilang akal', gangguan mood, meriang, dan demam saat berhenti. Tapi sifat keluhan ini hanya sementara," ujar Feni.
Ketidaknyamanan yang dirasakan seseorang saat berhenti merokok ini biasanya hanya terjadi selama empat pekan. Sayangnya banyak yang tak tahan sebelum masa empat minggu, sehingga gagal berhenti merokok.
Di RS Persahabatan sendiri, menurut Feni, hampir 50 persen pasien yang datang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap rokok. Kebanyakan dari mereka datang dengan penyakit kronis seperti jantung, kanker paru, kanker nasofaring, gangguan pernapasan saluran atas, dan stroke akibat kebiasaan tak sehat yang dijalani.
"Untuk itulah kami juga memiliki klinik berhenti merokok yang akan membantu mereka melepaskan diri dari ketergantungan akibat rokok. Kami akan mencari tahu ketergantungan ini dominannya karena adiksi-kah, ajakan di lingkungan sosial-kah, atau penyebab lainnya," tambahnya.
Di Klinik Berhenti Merokok ini, lanjut dia, perokok akan diberikan motivasi untuk membuatnya mau melepaskan diri dari rokok. Selain itu pemberian obat-obatan sebagai terapi juga akan dilakukan jika dirasa gejala kecanduan sudah berat.
"Karena yang terlibat di klinik ini adalah tim, jadi tidak hanya dokter paru saja, ada psikiatri, dokter gigi, agar penangannnya terintegrasi. Durasi terapi sekali datang biasanya juga hanya 30 menit," tambahnya.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat jumlah perokok di Indonesia menempati posisi ketiga besar di dunia, setelah Cina dan India. Data lainnya dari Atlas Pengendalian Tembakau ASEAN, ada 20 juta anak Indonesia terpapar rokok.
Dari data WHO tahun 2002, sebanyak 188.100 kasus kematian akibat kanker di Indonesia paling tinggi ketujuh di antara 192 negara. Sementara kematian akibat penyakit kardiovaskular ada 468.700 kasus (di peringkat keenam tertinggi), lainnya karena penyakit saluran pernafasan ada sebanyak 109.700 kasus (tertinggi keempat).
Lebih dari 120 juta orang bangkrut jika salah satu anggota keluarga menderita penyakit serius, seperti penyakit terkait tembakau pada kardio-vaskular atau kanker. Mereka merogoh kocek dari kantong pribadi untuk membayar perawatan kesehatan.