Bangkrut, Biaya Kesehatan Membengkak karena Penyakit Rokok
Pada tahun 2011, Pusat kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia pernah meneliti soal beban ekonomi karena penyakit yang diakibatkan oleh rokok. Dalam kumpulan penelitian yang berjudul ‘Indonesia: The Heaven For Cigarette Companies and the Hell For People (Surga bagi Perusahaan Rokok dan Neraka Bagi Rakyat)’, dipaparkan jumlah duit yang ‘dibakar’ negara dan perorangan. Hasil penelitin itu ditulis oleh Guru Besar Ilmu Kesehatan UI, Profesor Hasbullah Thabrany. Penelitian ini bekerjasama dengan peneliti asal Cina.
Di tahun 2011, Indonesia mengkonsumsi sekitar 235 miliar batang rokok, sekitar 1.000 batang per orang, termasuk bayi dan orang tua, dalam setahun. Kurang dari setengah dari pendapatan cukai rokok dialokasikan untuk Kementerian Kesehatan, 3 miliar dolar Amerika Serikat. Di sisi lain Indonesia memiliki jumlah warga yang mati karena rokok terbesar di ASEAN.
Dalam survei nasional tahun 2016, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rokok memberikan sumbangan kedua terbesar terhadap garis kemiskinan di perkotaan setelah beras yaitu sebesar 10,70 persen. Garis kemiskinan ini diketahui dari nilai garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan non makanan (GKMN). Rokok masuk ke dalam salah satu dari 52 komoditi makanan yang dihasilkan dari survei sosial ekonomi nasional (susenas). Jumlah orang yang disurvei dalam susenas ini ada 1,2 juta orang di seluruh Indonesia.
Garis kemiskinan makanan ini merupakan nilai rupiah yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan energi minimal 2100 kilo kalori per kapita per hari. Nilai rupiah dari 2100 kalori makanan diperoleh dari 52 komoditi makanan.
Kepala Subdit Statistik Kesehatan dan Perumahan BPS, Mariet Tetty Nuryetty mengatakan Indonesia menjadi pasar potensial untuk industri rokok. Data September 2016, jumlah penduduk Indonesia mencapai 258,7 juta orang yang terdiri dari 129,9 juta lelaki dan 128,7 juta perempuan.
Hasil survei BPS sepanjang 2016, perokok aktif Indonesia dimulai dari usia 5 tahun sampai 15 tahun. Jumlahnya 23 persen dari jumlah penduduk di usia itu, dan rata-rata menghabiskan 11 batang rokok sehari. Sementara perokok paling banyak di usia produktif antara 25-35 tahun sebayak 33 persen. Di lihat dari jenis kelamin, lelaki paling banyak merokok dari pada perempuan.
Rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap setiap hari oleh penduduk usia 15 tahun ke atas yang merokok di perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan. Di desa rata-rata perhari 12 batang, dan di kota 11 batang.
“Jadi target konsumen rokok ini lah yang potensial untuk industri rokok,” papar dia.
Kondisi yang sama juga terjadi di Bangladesh, kawasan Asia Barat. Penduduk Bangladesh kebanyakan miskin, dan mereka belum bisa memenuhi kebutuhan pokok dasar seperti makan. Tapi meski tingkat kemiskinannya tinggi di Bangladesh tingkat merokok relatif tinggi.
PATH Canada dan London School of Hygiene and Tropical Medicine, London mengukur hubungan antar konsumsi rokok, daya beli bahan pokok dan kemiskinan. Penelitian itu sudah diterbitkan dalam jurnal ilmian BMJ Journals dengan judul ‘Hungry for tobacco: an analysis of the economic impact of tobacco consumption on the poor in Bangladesh’.
Penelitian yang dilakukan 10 peneliti itu ditemukan sebanyak 10,48 juta perokok miskin di sana. Dari sampel 32 ribu rumah tangga, rata-rata penghasilan rumah tangga Bangladesh 40 dolar Amerika Serikat perbulan. Sebesar 40 persen dari pendapatan itu untuk dibelikan rokok. Ini menyebabkan anak-anak dalam keluarga perokok dalam kesulitan membeli bahan pokok. Keturunan mereka kekuarangan gizi.
Di Vietnam, rokok disebut sebagai ‘penguras’ sumber daya keuangan. Sejak tahun 90-an rokok menjadi populer di sana. Tahun 1998 saja jumlah rokok yang dikonsumsi rakyat Vietnam 2.34 miliar batang. Total duit yang dibelanjakan untuk rokok itu 435,6 juta dolar AS pertahun, atau setara harga 1,6 juta ton beras dan cukup untuk memberi makan 10,6 juta orang selama satu tahun.
Data ini hasil penelitian 6 ilmuan dari Bangladeh, Vietnam dan Kanada. Penelitian ini dibiayai Health Bridge Foundation dengan judul ‘Tobacco and poverty: evidence from Vietnam’ dan diterbitkan dalam jurnal ilmian BMJ Journals.
Penelitian ini mengevaluasi dampak ekonomi tembakau terhadap pengeluaran untuk rumah tangga miskin. Dalam data Survei Standar Hidup Vietnam (VLSS), rata-rata orang Vietnam menghabiskan 5,3 persen dari jumlah belanja kebutuhan pokok mereka untuk rokok. Persentase ini setara dengan pemenuhan kebutuhan 850 kalori dari nasi atau makanan sejenis sehari-hari.
Masih dalam hasil penelitian itu, dari Survei Sosioekonomi Nasional (NSES) dan Survei Kesehatan Nasional (NHS) menunjukkan prevalensi perokok di antara laki-laki pada usia di atas 15 tahun meningkat dari 53,4 persen di tahun 1995 menjadi 65,9 persen di 2010. Begitu juga perokok di kalangan perempuan sampai 4,2 persen di tahun yang sama.
Meningkatnya prevalensi perokok akan menghasilkan dampak ekonomi yang lebih besar di masa depan. Dampaknya tidak hanya karena meningkatnya biaya langsung untuk pengobatan penyakit terkait rokok, tetapi juga disebabkan oleh meroketnya biaya tidak langsung, termasuk peluang yang hilang akibat kematian dini.
Penelitian itu mewawancarai 590 pasien di 6 rumah sakit umum. Rata-rata pasien harus mengeluarkan uang untuk rawat inap Rp 11.815.860 pertahun. Sementara biaya rawat inap lelaki Rp14.164.169 dan Rp7.978.889 untuk perempuan. Biaya rawat inap rata-rata tertinggi untuk laki-laki adalah untuk penyakit kardiovaskular, sedangkan untuk perempuan adalah untuk kanker.
Dalam studi ini menemukan bahwa Indonesia kehilangan biaya perawatan medis senilai Rp3,76 Triliun hanya dari penyakit terkait tembakau.
Pertengahan Mei lalu pada pembukaan Indonesian Conference on Tobacco or Health di Balai Kartini Jakarta, Menteri Kesehatan Nila Moeloek memberikan data yang mencengangkan bahwa 36,3 persen dari jumlah penduduk Indonesia adalah perokok. Sekitar 20 persenya adalah perokok remaja. Sementara ada 235 ribu orang meninggal setahun karena rokok.
Kencana Indrishwari, pendiri Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia (AMKRI), menegaskan bahaya rokok itu nyata, bukan mitos. AMKRI adalah perkumpulan penyintas kanker pita suara maupun keluarga dari korban rokok. Perkumpulan ini dibentuk sejak 22 Oktober 2012. Rata-rata dari mereka dalam keadaan sakit karena sebagai perokok aktif dan pasif. Anggotanya tersebar dari berbagai daerah, mulai dari kalangan bawah sampai atas, terpelajar dan terdidik, dan perempuan serta lelaki.
“Tapi kebanyakan perempuan, dan keluarga tak mampu yang uangnya habis untuk berobat,”kata dia.
Kencana yang kini berusia 70 tahun menderita penyakit komplikasi akibat asap rokok. Dia terpapar asap rokok di lingkungan kerjanya dahulu. Kencana tidak tahu persis berapa jumlah korban rokok di bawah AMKRI. Saat ini kebanyakan anggotanya adalah perokok pasif dan keluarga korban rokok.
“Ujung dari rokok ini sebenarnya ke keluarga. Istri yang tidak merokok akan dibebani langsung. Mulai dari terpotongnya uang belanja keluarga sampai biaya mengobati suaminya yang pecandu rokok,” kata dia.
Kencana mengatakan perempuan merupakan pihak yang terdekat sebagai korban rokok. Budaya patriaki yang menempatkan perempuan sebagai kelas dua menambah berat posisi sebagai korban. Dia menyebut perempuan sebagai korban ganda.
Sebagai korban, Kencana cs menginginkan peredaran rokok harus dibatasi. “Jika bisa jangan ada peredaran rokok, karena benda itu sangat jahat,” kata dia.
Paling dekat, menurutnya pemerintah harus menolak rancanangan Undang-Undang Pengendalian Tembakau karena bertentangan dengan upaya peningkatan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Menurut dia, tujuan RUU itu seharusnya menjauhkan rokok dari jangkauan masyarakat.
“Yang sekarang ini kan memberikan angin sengar ke produsen,” kata Kencana.
Paling tidak RUU Pengendalian Tembakau itu harus melarang total iklan, promosi, dan pemberian sponsor oleh industri rokok. Selain itu menambah pajak, cukai rokok, batas atas tarif cukai rokok. Sehingga harga rokok menjadi tidak terjangkau.
“Kalau bisa lagi, jangan ada itu rokok. Titik,” tandasnya.