Suara.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan empat tersangka dalam kasus korupsi penerimaan hadiah atau janji terkait dengan pengalihan anggaran pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Mojokerto Tahun 2017.
"Para tersangka ditahan untuk 20 hari pertama di sejumlah lokasi," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Sabtu (17/6).
Tersangka Wiwiet Febryanto (WF) selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Mojokerto, kata Febri, ditahan di Rumah Tahanan Klas I Cipinang Jakarta Timur. Sementara itu, tersangka Purnomo (PNO) selaku Ketua DPRD Kota Mojokerto ditahan di Rumah Tahanan Kelas I Jakarta Timur Cabang KPK Pomdam Jaya Guntur.
Tersangka Umar Faruq (UF) sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto ditahan di Rumah Tahanan Polres Metro Jakarta Pusat. Sedangkan tersangka Abdullah Fanani (ABF) sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto ditahan di Rumah Tahanan Polres Jakarta Selatan.
KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan serta menetapkan empat orang sebagai tersangka, yaitu sebagai pihak penerima Ketua DPRD Kota Mojokerto Purnomo (PNO), Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto Umar Faruq (UF), dan Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto Abdullah Fanani (ABF), kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan saat konferensi pers di Gedung KPK RI, Jakarta, Sabtu.
Sebagai pihak pemberi, KPK menetapkan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Mojokerto Wiwiet Febryanto (WF) sebagai tersangka.
KPK juga mengamankan dua orang perantara berinisial H dan T dalam operasi tangkap tangan tersebut. Namun, sampai saat ini status dua orang itu masih sebagai saksi.
"Penyidik mengamankan uang total Rp470 juta dari berbagai pihak. Diduga uang senilai Rp300 juta merupakan pembayaran atas total komitmen Rp500 juta dari Kadis Dinas PUPR kepada pimpinan DPRD Kota Mojokerto agar anggota DPRD Kota Mojokerto menyetujui pengalihan anggaran dari anggaran hibah (Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) menjadi anggaran program penataan lingkungan pada Dinas PUPR Kota Mojokerto Tahun 2017 senilai sekitar Rp13 miliar," kata Basaria.
Uang senilai Rp170 juta diduga terkait dengan komitmen setoran triwulan yang telah disepakati sebelumnya.
"Uang sebesar Rp140 juta ditemukan di mobil Wiwiet Febryanto (WF), Rp300 juta ditemukan di mobil perantara H, dan Rp30 juta dari tangan perantara T," kata Basaria.
Untuk kepentingan pengamanan barang bukti, KPK melakukan penyegelan beberapa ruangan di Kantor DPRD Kota Mojokerto dan Dinas PUPR Kota Mojokerto.
Sebagai pihak yang diduga pemberi Wiwiet Febryanto (WF) disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) Huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) Huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Mereka yang diduga sebagai penerima, yakni Purnomo (PNO), Umar Faruq (UF), dan Abdullah Fanani (ABF) disangkakan melanggar Pasal 12 Huruf a atau Pasal 12 Huruf b atau Pasal 11 UU No. 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara serta denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Basaria menyatakan bahwa praktik korupsi seperti itu memiliki efek domino yang memicu bentuk korupsi lain yang merugikan keuangan negara dan melemahkan fungsi pengawasan atau "checks and balances" yang seharusnya dijalankan oleh anggota DPRD.
"KPK mengimbau kepada para kepala daerah dan jajarannya serta anggota DPRD di seluruh Indonesia menghentikan praktik seperti ini atau jika mendapatkan informasi permintaan uang agar melaporkan kepada KPK," ucap Basaria. (Antara)