Suara.com - Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang mengatakan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden tidak bisa nol persen seperti yang diusulkan sejumlah anggota DPR. Menurutnya seorang calon presiden harus punya rekam jejak dan ukuran di parlemen.
"Seorang presiden itu harus ada ukuran-ukurannya, harus ada track recordnya. Harus ada kepatuhan Nilainya di legislatif," kata Oesman saat ditemui usai menghadiri acara berbuka puasa bersama partai Hanura dengan anak yatim di Gor Dr. Soemantri Brodjonegoro, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (16/6/2017).
Menurutnya jika tak ada ambang batas, seorang presiden nanti kesulitan berkomunikasi dengan parlemen yang notabene dari unsur partai politik. Sehingga menyulitkan Presiden dalam berkomunikasi dengan legislatif untuk menjalankan pemerintahan nanti.
Di tengah tarik menarik usulan pemerintah dengan sejumlah fraksi di DPR mengenai ambang batas dalam pembahasan RUU Pemilu, Hanura mengambil posisi tengah.
"Hanura mengusulkan 15 persen, karena setelah diperdebatkan yang panjang antara zero dan 20 persen (ambang batas calon presiden), kami ambil tengah. Artinya tidak mungkin zero," ujar dia.
Namun, mengenai sikap pemerintah yang tetap kukuh mempertahankan usulannya agar ambang batas capres 20 persen kursi di parlemen, menurut Oesman hal itu wajar.
"Itu sah-sah saja," tutur dia.
Sementara itu, sampai saat ini pemerintah menginginkan agar ambang batas capres di angka 20-25 persen. Artinya partai yang hendak mencalonkan presiden 2019 harus memperoleh 20 persen kursi parlemen atau 25 persen suara sah nasional.
Bahkan pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengancam akan menarik diri dari pembahasan RUU Pemilu jika poin itu tidak diakomodasi Pansus.