Di mata cendekiawan muslim Azyumardi Azra, sosok mantan Presiden Soekarno merupakan tokoh reformis Islam.
"Menurut saya Bung Karno ini adalah tokoh reformis Islam, tokoh pemikir Islam," ujar Azra dalam diskusi bertajuk Warisan-Warisan Keislaman Bung Karno Bagi Indonesia dan Dunia di Mega Institute, Proklamasi, Jakarta, Jumat (16/6/2017).
Bung Karno sebagaimana dikatakan Azra adalah penganjur kepada umat Islam tetap berpegang teguh pada Al Quran, Hadist dan tetap mengaplikasikan ilmu pengetahuan.
"Muhammadiyah bilang tetap merujuk kembali kepada Al Quran dan hadits, tapi Bung Karno bilang tetap kembali kepada Al Quran dan hadist dengan ilmu pengetahuan," kata dia.
Dan yang paling menarik dari Bung Karno, menurut mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah, tidak pernah menyukai memberikan label kafir kepada orang lain.
"Misalnya, Bung Karno paling tidak suka mengkafirkan orang. Beliau selalu berpesan jangan mudah mengkafirkan orang. Pesan bung Karno sangat relevan, sekarang tambah banyak orang yang mengkafir-kafirkan orang lain," tutur Azra.
Pada zaman Bung Karno yang biasa diberi label kafir adalah mereka yang dianggap non pribumi yang beragama non Islam. Namun yang terjadi pada zaman sekarang sesama muslim pun saling mengejek dengan menyebut yang lain, yang berbeda pendapat, sebagai kafir.
"Padahal yang mengkafirkan orang itu yang kafir, mereka tidak mau bersyukur, bisa tinggal di Indonesia yang damai, bisa berdakwah bebas, tapi tidak mau menghormati merah putih, tidak mau menghormati Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, itu namanya kufur nikmat," kata Azra.
Yang membuat Azra sangat mengagumi tokoh seperti Bung Karno yaitu sikap tegas menolak negara khilafah.
"Khilafah itu ditolak oleh bung Karno. Katanya itu sistem politik yang sudah ketinggalan zaman, ngapain kita ikut seperti itu. Bung Karno lebih senang negara demokratis, tapi agama tidak jadi faktor penting," ucap Azra.
Ketua Fraksi PDI Perjuangan Ahmad Basarah mengatakan dalam konteks kebangsaan, Bung Karno menyebut nasionalisme dan keislaman sebagai satu tarikan nafas yang selalu berjalan beriringan.
"Konstruksi kebangsaan dan Islam adalah dasar dari konstruksi pemikiran kenegaraan Bung Karno. Islam dan kebangsaan ibarat dua rel kereta api yang harus selalu beriringan. Oleh karena itu, sesungguhnya dalam konteks pemikiran Bung Karno Islam bukan antitesis nasionalisme. Dalam konteks kebangsaan Islam dan nasionalisme dana satu tarikan nafas yang berjalan beriringan," kata Basarah.
"Menurut saya Bung Karno ini adalah tokoh reformis Islam, tokoh pemikir Islam," ujar Azra dalam diskusi bertajuk Warisan-Warisan Keislaman Bung Karno Bagi Indonesia dan Dunia di Mega Institute, Proklamasi, Jakarta, Jumat (16/6/2017).
Bung Karno sebagaimana dikatakan Azra adalah penganjur kepada umat Islam tetap berpegang teguh pada Al Quran, Hadist dan tetap mengaplikasikan ilmu pengetahuan.
"Muhammadiyah bilang tetap merujuk kembali kepada Al Quran dan hadits, tapi Bung Karno bilang tetap kembali kepada Al Quran dan hadist dengan ilmu pengetahuan," kata dia.
Dan yang paling menarik dari Bung Karno, menurut mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah, tidak pernah menyukai memberikan label kafir kepada orang lain.
"Misalnya, Bung Karno paling tidak suka mengkafirkan orang. Beliau selalu berpesan jangan mudah mengkafirkan orang. Pesan bung Karno sangat relevan, sekarang tambah banyak orang yang mengkafir-kafirkan orang lain," tutur Azra.
Pada zaman Bung Karno yang biasa diberi label kafir adalah mereka yang dianggap non pribumi yang beragama non Islam. Namun yang terjadi pada zaman sekarang sesama muslim pun saling mengejek dengan menyebut yang lain, yang berbeda pendapat, sebagai kafir.
"Padahal yang mengkafirkan orang itu yang kafir, mereka tidak mau bersyukur, bisa tinggal di Indonesia yang damai, bisa berdakwah bebas, tapi tidak mau menghormati merah putih, tidak mau menghormati Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, itu namanya kufur nikmat," kata Azra.
Yang membuat Azra sangat mengagumi tokoh seperti Bung Karno yaitu sikap tegas menolak negara khilafah.
"Khilafah itu ditolak oleh bung Karno. Katanya itu sistem politik yang sudah ketinggalan zaman, ngapain kita ikut seperti itu. Bung Karno lebih senang negara demokratis, tapi agama tidak jadi faktor penting," ucap Azra.
Ketua Fraksi PDI Perjuangan Ahmad Basarah mengatakan dalam konteks kebangsaan, Bung Karno menyebut nasionalisme dan keislaman sebagai satu tarikan nafas yang selalu berjalan beriringan.
"Konstruksi kebangsaan dan Islam adalah dasar dari konstruksi pemikiran kenegaraan Bung Karno. Islam dan kebangsaan ibarat dua rel kereta api yang harus selalu beriringan. Oleh karena itu, sesungguhnya dalam konteks pemikiran Bung Karno Islam bukan antitesis nasionalisme. Dalam konteks kebangsaan Islam dan nasionalisme dana satu tarikan nafas yang berjalan beriringan," kata Basarah.