Suara.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat sedikitnya terhadap 60 peristiwa penyebaran teror dan ketakutan di berbagai daerah sejak kampanye Pilkada pada 2016.
Kemudian sejak mencuatnya kasus penistaan agama oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), sedikitnya 11 kasus terkait pelarangan ibadah yang didominasi oleh ormas intoleran terjadi sepanjang Oktober 2016.
"Pasca Pilkada putaran pertama terlihat kembali peningkatan pada bulan Maret (2017) secara signifikan, 10 kejadian aksi sweeping, penangkapan, intimidasi, serta pembubaran kelompok/individu yang dianggap sebagai aliran sesat," kata Yati Andriyani, Koordinator Kontras dalam konfrensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (15/6/2017).
Motif dasar yang mendominasi peristiwa intimidasi dan persekusi terhadap individu/kelompok yang dianggap sesat tersebut adalah agama dan politik. Kontras mencatat 46 peristiwa bermotif agama, dan terkait politik 16 kasus.
Motif agama ini sangat masif digunakan oleh ormas tertentu untuk melakukan persekusi, seperti pelarangan kelompok minoritas tertentu, yakni Syiah, Ahmadiyah, dan aliran lainnya yang berujung intimidasi. Kemudian penyegelan tempat ibadah hingga pelarangan kegiatan keagamaan.
"Provinsi terbanyak terjadinya tindak persekusi adalah DKI Jakarta dan Jawa Barat. Pelarangan dan perburuan yang dilakukan ormas tertentu terkait tulisan medsos dan kegiatan minoritas banyak terjadi. Sedangkan di Jawa Barat banyak terjadi pelarangan, penyegelan tempat ibadah, gereja yang dilakukan langsung oleh warga dan ormas, seperti penyegelan tempat ibadah Ahmadiyah di Bogor beberapa waktu lalu," ungkap dia.
Selain itu, Kontras melihat tren persekusi dari sisi politik. Jika di sektor agama, mayoritas pelakunya adalah ormas tertentu, maka di sektor politik cenderung dilakukan oleh negara.
"Lebih jelasnya bagaimana pemerintah membatasi HAM tertentu (kebebasan pribadi, integritas pribadi, kebebasan berekspresi, hak atas persamaan dan lainnya) kepada sekelompok orang karena aktivitas politik atau ideologi individu mereka dianggap bertentangan," tutur dia.
Selain itu, upaya responsif kepolisian dalam menindak pelaku persekusi cukup baik. Namun juga jangan sampai bersifat musiman atau tergantung selera politik tertentu yang kebetulan saat ini dalam posisi berseberangan dengan kelompok-kelompok vigilante.
"Upaya negara hadir dan bertanggung jawab pada agenda penegakan hukum dan HAM di Indonesia perlu dipertanyakan kembali, mengingat kejadian yang terjadi belakangan hanyalah kasus berulang dari masa rezim sebelumnya, serta berbagai ketentuan diskriminatif yang memberi angin bagi pelaku vigilante masih ada dan tidak dicabut," tandas dia.