Komisi Pemberantasan Korupsi belum menerima surat panggilan dari panitia khusus hak angket terhadap KPK. Itu sebabnya, lembaga ini belum bersikap. Tetapi ada kemungkinan pimpinan lembaga antirasuah tak akan memenuhi panggilan.
"Kami belum tentukan sikap kan. Apakah mau pergi atau nggak. Jadi kami belum, sampai kami mendapatkan surat resmi dari DPR," kata Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (15/6/2017).
Laode mengatakan KPK mendapatkan masukan dari pakar hukum tata negara dan pidana yang akan dijadikan sebagai bagian dari dasar pengambilan sikap.
"Kajian dilimpahkan dari pakar seperti yang kalian dapatkan itu, sudah lengkap, dan KPK setuju dengan kajian itu. Itu sesuai dengan pemikiran kami di KPK," kata Syarif.
Syarif menegaskan pimpinan KPK tidak terbelah dalam menanggapi penggunaan hak angket. Semua pimpinan setuju dengan pendapat ahli yang menilai penggunaan hak angket oleh DPR terhadap KPK cacat hukum.
"Ya, kami setuju (suara bulat terkait pendapat para ahli)," katanya.
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara Mahfud MD mengatakan pembentukan pansus hak angket KPK di DPR bukan hal yang strategis.
"Di dalam UU itu disebutkan materi hak angket itu menyangkut satu hal penting bukan masalah rutin, kedua hal strategis, dan yang ketiga mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat," kata Mahfud saat konferensi pers di gedung KPK, kemarin.
Menurut Mahfud kesaksian mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Hanura Miryam S. Haryani dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Kamis (23/3/2017) yang mengaku ditekan penyidik adalah hal biasa.
"Itu kan hal biasa tidak ada hal yang gawat di situ dan itu kan juga sudah dibuktikan dalam sidang praperadilan sudah benar, ini kan tidak ada strategisnya juga dan tidak berpengaruh luas terhadap masyarakat. Ini masalah biasa saja masyarakat menganggap pemeriksaan Miryam itu biasa," tuturnya.
Mahfud juga menyatakan jika DPR berpikir pembentukan Pansus Hak Angket itu bukan hanya soal Miryam S. Haryani tetapi ada soal lain itu, maka itu tidak diperbolehkan,
"Hak angket itu harus fokus apa yang mau diangket kalau nanti masalahnya mau dicari oleh pansus itu tidak boleh, tidak fair secara hukum," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Dalam konferensi pers juga dihadiri Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif, juru bicara KPK Febri Diansyah, dan pakar hukum Universitas Andalas Padang Yuliandri.
Usulan hak angket ini tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III pada Rabu (19/4/2017) dini hari karena KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S. Haryani di luar persidangan terkait kasus KTP elektronik.
Pada sidang dugaan korupsi e-KTP pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran e-KTP.
Nama-nama anggota Komisi III itu, menurut Novel, adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa.
"Kami belum tentukan sikap kan. Apakah mau pergi atau nggak. Jadi kami belum, sampai kami mendapatkan surat resmi dari DPR," kata Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (15/6/2017).
Laode mengatakan KPK mendapatkan masukan dari pakar hukum tata negara dan pidana yang akan dijadikan sebagai bagian dari dasar pengambilan sikap.
"Kajian dilimpahkan dari pakar seperti yang kalian dapatkan itu, sudah lengkap, dan KPK setuju dengan kajian itu. Itu sesuai dengan pemikiran kami di KPK," kata Syarif.
Syarif menegaskan pimpinan KPK tidak terbelah dalam menanggapi penggunaan hak angket. Semua pimpinan setuju dengan pendapat ahli yang menilai penggunaan hak angket oleh DPR terhadap KPK cacat hukum.
"Ya, kami setuju (suara bulat terkait pendapat para ahli)," katanya.
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara Mahfud MD mengatakan pembentukan pansus hak angket KPK di DPR bukan hal yang strategis.
"Di dalam UU itu disebutkan materi hak angket itu menyangkut satu hal penting bukan masalah rutin, kedua hal strategis, dan yang ketiga mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat," kata Mahfud saat konferensi pers di gedung KPK, kemarin.
Menurut Mahfud kesaksian mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Hanura Miryam S. Haryani dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Kamis (23/3/2017) yang mengaku ditekan penyidik adalah hal biasa.
"Itu kan hal biasa tidak ada hal yang gawat di situ dan itu kan juga sudah dibuktikan dalam sidang praperadilan sudah benar, ini kan tidak ada strategisnya juga dan tidak berpengaruh luas terhadap masyarakat. Ini masalah biasa saja masyarakat menganggap pemeriksaan Miryam itu biasa," tuturnya.
Mahfud juga menyatakan jika DPR berpikir pembentukan Pansus Hak Angket itu bukan hanya soal Miryam S. Haryani tetapi ada soal lain itu, maka itu tidak diperbolehkan,
"Hak angket itu harus fokus apa yang mau diangket kalau nanti masalahnya mau dicari oleh pansus itu tidak boleh, tidak fair secara hukum," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Dalam konferensi pers juga dihadiri Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif, juru bicara KPK Febri Diansyah, dan pakar hukum Universitas Andalas Padang Yuliandri.
Usulan hak angket ini tercetus saat KPK melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III pada Rabu (19/4/2017) dini hari karena KPK menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan anggota Komisi II dari fraksi Partai Hanura Miryam S. Haryani di luar persidangan terkait kasus KTP elektronik.
Pada sidang dugaan korupsi e-KTP pada 30 Maret 2017, penyidik KPK yang menangani kasus tersebut yaitu Novel Baswedan mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang dalam penganggaran e-KTP.
Nama-nama anggota Komisi III itu, menurut Novel, adalah Ketua Komisi III dari fraksi Golkar Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Komisi III dari fraksi Gerindra Desmond Junaidi Mahesa, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Hanura, Sarifuddin Suding, anggota Komisi III dari Fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu dan satu orang lagi yang Novel lupa.