Diperiksa KPK, Ketua BPPN Tak Berkomentar Soal Uang Rp3,7 Triliun

Kamis, 15 Juni 2017 | 14:21 WIB
Diperiksa KPK, Ketua BPPN Tak Berkomentar Soal Uang Rp3,7 Triliun
Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional I Putu Gede Arysuta [suara.com/Nikolaus Tolen]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional I Putu Gede Arysuta diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi terkait kasus dugaan korupsi pemberian surat keterangan luans kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia kepada BPPN. Usai diperiksa, dia tidak berkomentar banyak terkait hasil pemeriksaannya pada hari ini.

"Nanti tanya ke penyidik saja yang lengkapnya," katanya di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (15/6/2017).

Dalam kasus ini, KPK sudah menetapkan Syafruddin Arsyad Tumenggung menjadi tersangka pada tanggal 25 April 2017.

Syafrudin diduga melakukan perbuatan yang menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya sebagai Ketua BPPN. Akibatnya negara pun mengalami kerugian hingga 3,7 triliun rupiah.

Atas perbuatannya, Syafruddin disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undnag Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undnag Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP.

Kasus ini mulai proses penyelidikan sejak tahun 2014 dengan meminta keterangan sejumlah pihak. Proses begitu lama karena KPK harus hati-hati sebab begitu banyak dokumen yang harus dianalisis dengan baik. Karena itu diperlukan waktu hingga dua sampai tiga tahun.

Kasus ini bermula ketika Syafruddin masih menjadi Kepala  BPPN tahun 2002. Pada saat itu, dia mengusulkan untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan perubahan atas proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor  kepada BPPB sebesar Rp4, 8 triliun.

Hasil restrukturisasi Rp1,1 triliun dinilai sustainable dan ditagihkan kepada petani tambak, sedangkan Rp3, 7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi sehingga seharusnya masih ada kewajiban obligor sebesar Rp3,7 triliun yang ditagihkan.

Dan pada Tahun 2004, Syafrudin mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban pemegang saham terhadap obligor sjamsul nursalim atas semua kewajibannya terhadap BPPN. Padahal saat itu masih ada kewajiban sebesar Rp3,7 triliun.

Terkait kasus ini, KPK sudah meminta keterangan beberapa mantan pejabat, di antaranya Menteri Koordinator Perekonomian pada Kabinet Gotong Royong 2001-2004 Dorodjatun Kuntjoro Jakti, Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000-2001 Rizal Ramli, Menteri Keuangan 1998-1999 Bambang Subiyanto, Menteri Koordinator Perekonomian 1999-2000 dan mantan Kepala BPPN I Putu Gede Ary Suta, eks Kepala Bappenas 2001-2004 Kwik Kian Gie, serta mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (saat ini menjabat Menteri BUMN) Rini Mariani Soemarno.

Sebenarnya, KPK mulai bergerak mengusut dugaan penyimpangan SKL BLBI pada 2008 saat masih di bawah kepemimpinan Antasari Azhar. Saat itu, lembaga antirasuah membentuk empat tim khusus buat menyelesaikan kasus BLBI, sebelumnya mentok saat ditangani oleh Kejaksaan Agung. Kasus ini ditelusuri selepas operasi tangkap tangan kasus suap dari pengusaha Artalyta Suryani alias Ayin terhadap mantan Jaksa Urip Tri Gunawan. Saat itu, Urip juga menjabat sebagai Ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus BLBI.

Salah satu tim bertugas untuk menangani perkara yang dihentikan Kejaksaan karena telah menerima SKL, termasuk kasus mantan pemegang saham BDNI, Sjamsul Nursalim, mempunyai utang sebesar Rp28,4 triliun.

Berdasarkan hasil pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) oleh Badan Pemeriksa Keuangan, nilai penjualan dari aset Salim yang diserahkan ke BPPN untuk penyelesaian BLBI ternyata hanya 36,7 persen atau sebesar Rp19,38 triliun, dari Rp52,72 triliun yang harus dibayar.

Meski demikian, pemerintah justru mengampuni beberapa pengutang lewat penerbitan SKL. Mekanisme penerbitan SKL yang dikeluarkan BPPN berdasarkan Inpres Nomor. 8 Tahun 2002 saat kepemimpinan Presiden Megawati dan Ketetapan MPR Nomor 6 dan 10. Saat itu Megawati mendapat masukan dari mantan Menteri Keuangan Boediono, Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Jakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi buat menerbitkan SKL.

Penerbitan SKL menjadi dasar bagi Kejaksaan Agung untuk menghentikan penyidikan (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) terhadap sejumlah pengutang. Selain Sjamsul, ada beberapa pengusaha lain diduga mengemplang turut dihentikan penyidikannya. Yakni The Nin King dan Bob Hasan, yang telah mendapatkan SKL dan sekaligus release and discharge dari pemerintah.

Dalam hasil audit BPK, dari dana BLBI sebesar Rp144,5 triliun yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, sebanyak Rp138,4 triliun dinyatakan merugikan negara. Sedangkan dalam audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan terhadap 42 bank penerima BLBI menemukan penyimpangan sebesar Rp54,5 triliun. Sebanyak Rp53,4 triliun merupakan penyimpangan berindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan.

REKOMENDASI

TERKINI