Suara.com - Akademisi dan peneliti yang merupakan penerima beasiswa atau awardee Lembaga Pengelola Dana Pendidikan meyakini penggunaan media sosial secara signifikan mampu meningkatkan kebahagiaan masyarakat penggunanya.
“Penggunaan medsos diyakini mampu meningkatkan tingkat kebahagiaan masyarakat penggunanya. Karena siapa yang kita ikuti di media sosial bisa berdampak bagi kebahagiaan diri kita,” ujar psikolog klinis dari Universitas Bina Nusantara Pingkan CB. Rumondor ketika menyikapi peringatan Hari Media Sosial Nasional, Minggu (11/6/2017).
Pingkan mengatakan pengguna media sosial perlu menyadari bahwa media itu memungkinkan penggunanya mengamati kehidupan orang lain. Baik kehidupan orang yang berada diatas maupun dibawah. Termasuk, kata dia, orang-orang yang lebih mapan, cerdas, tampak bahagia, maupun orang-orang yang lebih berkekurangan dan merana.
Berdasarkan Social Comparison Theory, kata Pingkan, manusia cenderung membandingkan diri dengan orang lain. Jika membandingkan dengan orang diatas, maka cenderung membuat manusia itu merasa kurang puas dengan kehidupannya.
“Akibatnya, menjadi kurang bahagia. Sementara jika membandingkan diri dengan orang yang dibawahnya, cenderung membuat kita merasa bersyukur, dan dampaknya mendorong kepuasan hidup serta kebahagiaan,” kata Pingkan.
Optimalkan Medsos
Terkait penggunaan media sosial, ia mengingatkan agar masyarakat untuk memahami hal ini agar bisa memanfaatkan media sosial secara optimal untuk mendorong kebahagiaannya.
“Tips praktisnya, follow akun yang membuat anda merasa bersyukur, bukan iri. Dan unfollow atau mute akun yang membuat anda merasa iri, merana, atau tidak puas dengan diri. Jadi, kendali dan pilihan untuk merasakan kebahagiaan ada ditangan kita,” kata Pingkan.
Peneliti ekonomi syariah dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Taufiq Hidayah, menilai media sosial telah melahirkan tubuh digital yang tak lagi mengenal batas geografis. Sehingga setiap penggunanya seolah saling berhadap-hadapan secara langsung.
Menurut dia, tubuh digital memampukan penggunanya untuk saling berhadapan, berbincang, bertukar gagasan, hingga berkelahi. Celakanya, kata dia, masyarakat Indonesia tidak banyak memiliki literasi kuat untuk membendungnya.