Revisi UU 32/2002 Diminta Tak Sentralisasi Penyiaran

Sabtu, 10 Juni 2017 | 13:31 WIB
Revisi UU 32/2002 Diminta Tak Sentralisasi Penyiaran
Emrus Sihombing (paling kiri) saat diskusi di Warung Daun, Sabtu (10/6/2017). [Suara.com/Nikolaus Tolen]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - DPR yang tengah menggodok revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, diminta untuk membuat mekanisme agar pengelolaan penyiaran oleh stasiun-stasiun televisi di Indonesia tidak bersifat sentralistik.

Permintaan itu dilontarkan Direktur Eksekutif Emrus Corner, Emrus Sihombing, dalam diskusi ”RUU Penyiaran, Harapan atau Ketidakpastian” di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (10/6/2017).

"Saya meyakini perubahan teknologi adalah keniscayaan. Harus terjadi, mau tidak mau, karena teknologi berkembang terus," kata pakar komunikasi politik Emrus Sihombing dalam Diskusi bertajuk 'RUU Penyiaran, Harapan atau Ketidakpastian' di Warung Daun,  Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu 10 Juni 2017.

Baca Juga: Cegah Penyakit Kardiovaskular, Yuk Kerja Sambil Berdiri di Kantor

Namun, Emrus mempertanyakan kenapa revisi UU itu menempatkan pemerintah sebagai pihak pengatur penyiaran.

Dalam draf revisi, LPP Radio Televisi Republik Indonesia ditetapkan menjadi penyelenggara tunggal penyiaran multipleksing digital atau single mux operator.

Multipleksing digital adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk proses sejumlah sinyal pesan analog atau aliran data digital digabungkan menjadi satu sinyal. Tujuannya adalah untuk berbagi sumber daya yang mahal.

Sementara operator single mux adalah lembaga negara yang diyakini membuat penyiaran tidak monopolis kalau dipegang perusahaan nonpemerintah.

"Seharusnya bukan sentralistik. Justru masyarakat harus diberi kepercayaan untuk mengurusnya, termasuk mengurus media massa. Kita sejak reformasi berjuang untuk itu," kata Emrus.

Baca Juga: Sebelum Meninggal, Jupe Jalani Operasi Pencernaan

Dia menilai, upaya untuk membuat pengelolaan penyiaran ini menjadi sentralistik akan membuat independensi pengelola menjadi dipertanyakan. Karena itu dia menyarankan agar pemerintah juga menggandeng pihak swasta.

"Oleh karena itu lebih baik multi mux, diserahkan kepada para pengelola media untuk soal (migrasi) digital ini," katanya.

Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII) Kamilov Sagala mengatakan, terdapat sejumlah risiko yang harus ditanggung lembaga penyiaran swasta, pemerintah dan masyarakat, bila RUU Penyiaran disahkan dan menetapkan LPP RPTRI menjadi multiplekser tunggal.

Pertama, yaitu RUU Penyiaran yang sedang digodok bertentangan dengan semangat demokrasi yakni terkait larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

"Adanya RUU ini membuat gundah lembaga penyiaran swasta karena iklim persaingan akan rusak dan lama-lama bisa mati," kata Kamilov.

Selanjutnya, kata dia, RUU Penyiaran yang konsepnya dibuat oleh pemerintah dan legislatif merusak iklim kompetisi dan persaingan usaha sehat. Sebab pemusatan ekonomi hanya berada di satu pihak saja. 

"Ini mengakibatkan UU tentang monopli tidak bisa dijalankan bersama dengan UU Penyiaran ini karena tidak sejalan. Apabila dijalankan akan melanggar beberapa pasal," tutupnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI