Suara.com - Tindakan persekusi teryata tidak terjadi di masa kini, abad 21. Di abad 17, persekusi terjadi saat Islam baru masuk ke Indonesia. Islam masuk ke Indonesia di abad ke-13.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, persekusi berarti pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Dikisahkan adanya pertentangan mazhab antara kelompok sufi Nuruddin ar-Raniri dan Hamzah Fansuri.
Nuruddin Ar-Raniri memberikan fatwah kafir ke pengikut Hamzah Fansuri. Isi fatwanya, pengikuti Hamzah Fansuri sesat dan boleh dibunuh.
Hal itu diceritakan Guru Besar Universitas Islam Syarif Hidayatullah, Oman Fathurahman. Oman adalah profesor manuskrip Islam Nusantara pertama di Indonesia. Dia mengisahkan persekusi abad ke-17 itu dari tulisan Syekh Abdul Rauf Singkil di abad 17.
"Ar-Raniri menuliskan Fathul Mubin 'alal Mulhidin, isinya pengikuti Hamzah Fansuri sesat dan boleh dibunuh. Pengikutnya sampai dikejar dan karyanya sampai dibakar," cerita Oman saat ditemui suara.com di ruang kerjanya di Kampus UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan awal pekan ini.
Setelah fatwa itu Syekh Abdul Rauf Singkil hadir dan menjelaskan konsep-konsep Islam sebagai ajaran yang lebih moderat.
"Ketika Syekh Abdul Rauf Singkel datang tahun 1661, kembali dari Mekah setelah 19 tahun belajar di sana. Dia juga menjadi Qadi Malik al'Adil yang didukung oleh Sultanah perempuan karena mempunyai pemikiran yang moderat. Dengan dukungan politik itu, maka memungkinkan dia mengeksekusi pemikiran-permikirannya yang lebih praktis," ceritanya.
Dalam banyak manuskrip Islam di Indonesia, banyak dikisahkan para ulama yang toleran. Cerita Oman, ulama di masa lalu mampu berdialog dengan masyarakat tentang Islam.
"Tapi dalam sejarah, ada juga pihak-pihak yang pemikirannya dianggap tidak moderat. Tapi umumnya ulama-ulama terdahulu pemikirannya sangat moderat," kata dia.
Cerita Oman lengkapnya akan dipublish di rubrik wawancara khusus edisi Ramadan suara.com, Senin (12/6/2017) pekan depan.
(Pebriansyah Ariefana/Jane Anthrani/Dendi Afriyan)