Pengacara Sjamsul Nursalim: Uang Rp3,7 Triliun Urusan BPPN

Senin, 05 Juni 2017 | 19:22 WIB
Pengacara Sjamsul Nursalim: Uang Rp3,7 Triliun Urusan BPPN
Maqdir Ismail [suara.com/Oke Atmaja]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
Komisi Pemberantasan Korupsi sudah melayangkan surat panggilan kepada pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia Sjamsul Nursalim yang saat ini berada di Singapura. Taipan ini akan diperiksa atas kasus tambak udang PT. Dipasena Citra Darmaja di Lampung miliknya yang diduga hasil aliran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang telah merugikan negara Rp3,7 triliun.

Kuasa hukum Sjamsul Nursalim, Maqdir Ismail, menegaskan kliennya sudah menyelesaikan kewajiban pembayaran BLBI dengan menyerahkan aset-aset yang dimiliki melalui skema perjanjian Master Settlement And Acquisition Agreement. MSAA diberlakukan bagi pemegang saham yang menyerahkan aset dan dinyatakan nilainya cukup untuk melunasi kewajibannya.

Perjanjian MSAA BDNI tersebut selesai ditanda tangani pada tanggal 25 Mei 1999. Oleh karena itu Maqdir heran, jika KPK kembali membuka kasus tersebut. Karena dengan menandatangani MSAA, maka pihaknya sudah menyelesaikan kewajiban mengembalikan dana BLBI. Dipilihnya MSAA juga karena kliennya kooperatif.

"Tapi kenapa terus dipersoalkan, padahal masih banyak obligor-obligor BLBI yang tidak kooperatif, tidak mau mengembalikan dana BLBI, namun dibiarkan,” kata Maqdir, Senin (5/6/2017).

Menurutnya hak tagih sebesar Rp3,7 triliun yang dipersoalkan KPK saat ini bukanl kewajiban Sjamsul lagi. Hal tersebut sudah menjadi urusan Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

"Ini adalah hak tagih kepada petambak. Hutang petambak itu dalam MSAA bukan kewajiban pak Sjamsul Nursalim, tetapi kewajiban petambak. Waktu pak Kwik jadi Menko Ekuin dan sebagai Ketua KKSK, kewajiban itu dia putuskan sebagai kewajiban Pak Sjamsul Nursalim. Tentu saja keputusan ini tidak disetujui oleh Pak Sjamsul Nursalim," katanya.

Maqdir menuturkan perjanjian MSAA diputuskan 1998, sebagai salah satu jalan tengah di tengah krisis ekonomi. Kala itu, pemerintah yang membutuhkan percepatan pemulihan ekonomi mengesampingkan langkah hukum. Pemidanaan dianggap bukan langkah tepat karena hanya akan memenjarakan orang sementara aset-aset dan harta benda dari pengucuran dana BLBI bisa tak kembali, sehingga ekonomi akan mandeg.

"Karenanya, butuh terobosan yang bersifat perdata, berupa perjanjian MSAA di bulan September 1998. Para obligor merasa perlu kepastian hukum tidak dikejar oleh aparat hukum jika rezim pemerintahan berganti, mata dikeluarkanlah oleh pemerintah saat itu release and discharge,” kata Maqdir

Dalam kasus Sjamsul sudah dikeluarkan release and discharge pada tanggal 25 Mei 1999. Pada 2002, berdasarkan UU Propenas, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002, yang menjadi dasar penerbitan SKL oleh BPPN. SKL ini pun hanya menyempurnaan dari release and discharge yang sudah keluar tahun 1999.

"Dalam hukum, persoalan perdata itu harus diselesaikan dulu perdatanya, istilahnya prejudiciel geschill bukan langsung mempidanakan. Saya pernah sampaikan, menyangkut masalah yang terkait Pasal 81 KUHP, memberi kewenangan kepada hakim pidana untuk menangguhkan pemeriksaan menunggu petusan hakim perdata mengenai persengketaan. Ini sudah diatur dalam surat edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1980," katanya.

Sekitar Oktober 1998, kata Maqdir, pemerintah melaporkan kepada International Monetery Fund, dimana Indonesia terikat dengan Letter of Intents yang mengatakan pemerintah bersepakat untuk menyelesaikan kewajiban para obligor BLBI di bawah BPPN dengan penyelesaian secara perdata.

"Jika ingin mengubahnya, maka batalkan dulu keputusan politiknya dan yang bisa membatalkan MSAA hanya lewat putusan pengadilan atau melalui lembaga arbitrase, karena sudah berlaku seperti undang-undang bagi para pihak. Jadi tidak bisa serampangan karena kedua pihak terikat dalam perjanjian MSAA," katanya.

Maqdir mengatakan BPPN bekerja sebagai eksekutor keputusan KKSK dibawah koordinasi Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Kepala Bappenas dan Menteri BUMN juga sepakat dengan terbitnya SKL penyempurnaan terhadap BDNI pada tahun 2004. Sesuai perintah KKSK, ketika BPPN dibubarkan maka piutang PT Dipasena sebesar Rp4,8 triliun, oleh BPPN diberikan kepada Divisi PPA Kementerian Keuangan.

“Lalu dimana kerugian negaranya, duitnya masih ada dan hak tagihnya sudah di Kementerian Keuangan. Jadi tidak ada hubungannya juga dengan ketua BPPN,” katanya.

Sementara terkait pemanggilan terhadap Sjamsul oleh KPK, Maqdir mengaku belum mengetahui. Sebelumnya, KPK sudah melayangkan surat panggilan agar Sjamsul diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Syarifuddin A. Tumenggung pada tanggal 29 Mei 2017. Sjamsul tidak memenuhinya ketika itu.

"Sampai hari ini saya belum pernah tahu ada panggilan itu. Memang hak penyidik untuk memanggil saksi, tapi panggilan itu harus relevan dengan pengetahuan calon saksi;" katanya.

REKOMENDASI

TERKINI