"Itu urusan pribadi-pribadi lah. Kalau Anda punya keluarga, terus keluarga anda dihina anda tersinggung nggak? Jadi, kalau FPI merasa tersinggung karena ulamanya dihina, menurut saya wajar," kata Sambo di Komnas HAM, Jalan Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (2/6).
Namun, peneliti Setara Institute, Halili Hasan, mengatakan ormas maupun individu pelaku aksi persekusi selalu mengakui diri menjadi korban yang dirugikan.
Halili menuturkan, mengakui diri sebagai korban yang dirugikan atau playing victim menjadi taktik tokcer untuk membenarkan aksi persekusi sebagai bentuk jihad dan mengundang simpati melalui media sosial.
“Salah satu strategi mereka adalah playing victim, seolah-olah dizalimi. Itu dijadikan sebagai pembenar bagi aksi mereka sendiri. Mendesak korban untuk menyatakan maaf secara tertulis dalam surat bermaterai juga Cuma bentuk penghalusan dari intimidasi. Biar dibilang legal,” terangnya.
Baca Juga: Kenal Perempuan Nyaris Bugil di Mangga Besar? Polisi Beri Hadiah
Padahal, terus Halili, surat bermaterai tidak memunyai kekuatan hukum dalam kasus pidana. “Mereka tidak bisa seperti itu, karena tindakan seperti itu termasuk represif. Sementara yang boleh menggunakan kekuatan represif hanyalah negara,” terangnya.
Siapa Dalangnya?
Polda Metro Jaya sudah menetapkan dua orang—satu orang anggota FPI—sebagai tersangka penganiayaan PMA. Polisi juga masih mengembangkan kasus itu, sehingga tak menutup kemungkinan ada tersangka baru.
Sementara Kapolri Jenderal Tito Karnavian sudah mencopot Ajun Komisaris Besar Sumelawati Rosya dari jabatannya sebagai Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Solok, Sumatera Barat.
Pencopotan itu dilakukan karena Tito menilai Sumelawati tidak berani menghadapi individu maupun organisasi yang melakukan persekusi terhadap dokter Fiera.
Baca Juga: Kisah Eks Teroris Al Qaeda Bertahan Hidup, Sulitnya Mencari Kerja
Bahkan, Tito kesal karena Sumelawati menganggap kasus itu sudah selesai setelah Fiera membuat pernyataan maaf setelah diteror.