Suara.com - Keinginan Sofyan Tsauri untuk hidup seperti orang kebanyakan ternyata tak mudah, setelah dirinya insaf dan keluar dari jaringan organisasi teroris Al Qaeda.
Mantan aparat kepolisian tersebut harus menerima kenyataan tak diterima bekerja di banyak tempat.
Dalam diskusi bertajuk “Membedah Revisi Undang-Undang Terorisme” di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (3/6/2017) akhir pekan lalu, Sofyan menceritakan dirinya pernah hendak menjadi pengojek.
Baca Juga: Habib Rizieq Pertimbangkan Tinggal di Arab Saudi hingga 2018
Ia lantas melamar ke salah satu perusahaan ojek berbasis aplikasi (ojek online). Namun, ketika mengajukan lamaran, pihak perusahaan mempertanyakan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) yang tak disertakan.
“Waktu itu pernah dapat informasi ada lowongan pekerjaan di ojek online. Saya sudah urus, tapi satu berkas tak bisa saya sertakan, SKCK. Karena kalau minta SKCK ke kepolisian kan pasti ditanyakan pernah terlibat apa. Saya kan terlibat terorisme,” tutur Sofyan.
Sofyan yang divonis 10 tahun penjara tersebut menuturkan, pihak perusahaan terus mempertanyakan SKCK sebagai kelengkapan persyaratan dirinya menjadi pengojek.
Kala itu, ia mengakui tak sanggup berterus terang bahwa dirinya adalah mantan napi kasus terorisme. Ia juga meyakini polisi tak bisa menerbitkan SKCK untuk dirinya.
Sebab, kata dia, polisi pasti masih menyimpan data kasus dirinya. ”Sampai saya keluar dari penjara, stigma itu tentu masih ada. Jadi, sulit untuk kembali berbaur dalam masyarakat,” tukasnya.
Baca Juga: Bela Habib Rizieq, Uskub Gelar Sayembara Berhadiah Mobil Fortuner
Alhasil, Sofyan yang dulu menjadi personel pasukan elite kepolisian, Brigade Mobil, memutuskan untuk mandiri. Kekinian, ia memilih menjadi guru agama.
Sofyan mengakui, dirinya sudah tak berminat terlibat dalam jaringan teroris. Bahkan, ia bersimpati terhadap korban-korban aksi teroristik.
Menurutnya, melalui revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pemerintah harus memuat jumlah kompensasi yang ditujukan untuk para korban aksi terorisme.
"Korban harus diberi kompensasi yang layak. RUU agar bersikap adil terhadap para korban. Pemerintah harus hadir dalam penanganan korban," pintanya.
Menurutnya, terorisme adalah ancaman yang nyata dan berpotensi menimbulkan banyak korban tak berdosa. Untuk itu, dia meminta DPR agar objektif dalam menggodok RUU Pemberantasan Terorisme supaya mencegah banyak korban berjatuhan akibat aksi terorisme.